SEBATANG KUAS
Oleh:
Abdi Sanjaya
NIM:
004135602653083
Suasana Kota Tua Jakarta yang penuh
dengan aroma polusi mulai membungkus langit kota yang hitam oleh asap-asap
pabrik dan kendaraan yang berlalu lalang. Matahari yang menyinsing bersinar
tepat di atas kepala membuat raut wajah pengunjung dan penjual di pinggir kota
mengerutkan hidungnya. Begitupun denganku yang mulai kelelahan berkeliling
mencari objek foto di sekitaran Kota Tua hampir kehilangan nafas karna
menghirup udara kotor dari pagi hari hingga terik matahari.
Di sudut kota aku melihat seorang
bapak-bapak yang umurnya lebih dari setengah abad duduk termenung dibawah pekarangan
bunga dipinggir trotoar. Di sampingnya terdapat beberapa peralatan seni lukis
seperti kuas, kanvas, pensil, dan cat warna. Aku telah mengira bahwa pria itu
adalah seorang pelukis jalanan. Gerak geriknya yang polos dengan keringat di
dahi menggelitik pikiranku untuk menyapanya.
“Selamat siang, pak!” Tanyaku sambil
duduk disampingnya.
“Siang!” Jawabnya sambil tersenyum.
“Cuaca panas sekali ya, pak!”
“Iya, udah hampir dua bulan belum
hujan!”
Merasa ramah, aku pun mulai
melanjutkan bincang-bincang dengan bapak itu. Sebelumnya aku menanyakan namanya
dan asal tempat tinggalnya hingga akhirnya
obrolanku dangan bapak itu pun semakin intim. Rupanya bapak itu bernama
Suyanto asal Brebes dan merantau ke Jakarta mencari nafkah untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya dengan menjadi seorang pelukis jalanan.
Perjuangan besar bapak Suyanto untuk
sampai ke Jakarta cukup mengharukan. Dia hanyalah orang sederhana yang serba
berkecukupan berangkat dari Brebes ke Jakarta hanya berbekal sebungkus nasi
uduk dan dua pop mie gelas. Mendengar cerita itu, aku pun langsung teringat
dengan kisah diriku untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas di kota
Metropolitan.
Dulu, ketika ingin berangkat dari
kampung halaman menuju kota Metropolitan, diriku hanya berbekal sebotol air
mineral dan sebungkus roti coklat sobek dan tak lupa doa kedua orang tuaku.
Mengingat kembali kisah itu aku pun tersenyum dan tak heran bahwa masih banyak
orang yang kurang dariku. Pikiranku mulai berkhayal dan melayang entah kemana.
Namun, ketika berkhayal, diriku
dikejutkan oleh seorang ibu membawa anak kecil menyapa pak Suyanto. Rupanya ibu
itu adalah pelanggan yang ingin dirinya dilukis.
“Pak, saya mau dilukis sama persis
dengan difoto ini ya!” suruh pelanggan itu sambil menyodorkan foto dari dalam
dompetnya. “Kira-kira harganya berapa ya, pak?” tanya pelanggan itu kembali.
“Ibu mau ukuran berapa? Kalo 8R
harganya dua ratus ribu, tapi kalo 10R harganya tiga ratus ribu!” jawab pak
Suyanto.
“Saya pesan 10R saja pak! Itu kapan
bisa di ambil?”
“Karna hari hampir sore, jadi
lukisannya besok baru selesai, bu!”
“Ya sudah, besok siang saya kesini
untuk mengambil lukisan!” tegasnya sambil tersenyum.
Beberapa menit setelah pelanggan itu
minggat dari hadapannya, pak Suyanto pun mulai mengeluarkan kanvas sambil memasangnya
dipenyangga. Kemudian, ia mengeluarkan kuas, dan beberapa cat warna dari dalam
tas kecilnya. Sebelum mulai mewarnai, pak Suyanto menggoreskan pensil ke
permukaan kanvas. Tak dikira, tangannya yang sudah keriput dipenuhi dengan urat
yang timbul di kulit hitamnya dengan leluasa menari lemah lembut menguasai
permukaan kanvas yang sangat berarti baginya.
Aku yang masih berada di samping pak
Suyanto terkagum melihat gerak-gerik tangannya yang cepat meniru sketsa wajah
pelanggan yang ada difoto. Karna aku tidak ingin pak Suyanto terganggu, maka
aku hanya berdiam diri menonton aksinya melukis seseorang. Tak sampai lima
menit membuat pola sketsa wajah dengan pensil, pak Suyanto mulai mengecat.
“Di sinilah kita harus berhati-hati
dalam membuat karya seni, sedikit saja salah memberikan warna, maka lukisan itu
akan mati!” kata pak Suyanto kepadaku.
“Tapi, aku lihat sepertinya bapak
sudah leluasa dan saya yakin bapak tidak akan mengalami kesalahan dalam
melukis!” sahutku.
Mendengar itu pak Suyanto tersenyum
sambil menggoreskan cat warna ke permukaan kanvas. Sungguh, caranya mencampur
cat hingga menggoreskan kuas sangat lembut dan halus. Perlahan secara pasti
belum ada kesalahan yang dialaminya saat mengecat. Karya lukisannya yang hanya
berpatok pada sebatang kuas membuat pak Suyanto terlihat seperti seniman yang
handal. Melihat hal itu membuatku tak mau ketinggalan momen berharga, aku pun mulai
memotret pak Suyanto sedang melukis.
Namun sayang, ketika aku ingin
memotret ulang wajah pak Suyanto secara dekat, kami dikejutkan oleh teriakan
para penjual di sekitaran Kota Tua Jakarta.
“Satpol PP! Siap-siap beresin barang!”
tegas beberapa orang penjual sambil membereskan barang jualannya.
Aku melihat para penjual di kanan dan
kiriku mulai ricuh. Ada yang membereskan barang jualan, berlari ketakutan, dan
ada yang teriak-teriak. Satpol PP lengkap dengan mobil patrolinya dengan sigap
menyita barang jualan yang tak habis dibawa pulang oleh penjual. Tak sedikit
penjual yang meniggalkan barang jualan dan memilih kabur melarikan diri
ketimbang diamankan oleh satpol PP. Sementara di depanku ada pak Suyanto yang
terburu-buru membereskan barangnya kedalam tas.
“Sini aku bantu, pak!” pintaku sambil
memasukkan cat kedalam tas mungilnya.
“Terima kasih, nak!” jawabnya singkat.
Tak sempat bersalaman, pak Suyanto pun
bergegas pergi sambil berlari membawa lukisannya yang belum selesai dicat. Aku
ingin memanggil pak Suyanto dan mengatakan banyak terima kasih kepadanya. Tapi
pak Suyanto telah berlari jauh ke seberang jalan. Sesaat pak Suyanto hilang
dari pandanganku, aku melihat diaspal ada sebatang kuas yang mana di ujungnya
masih ada sisa cat yang belum kering. Aku yakin itu adalah kuas pak Suyanto
yang jatuh dari tasnya.
Karna terburu-buru, pak Suyanto tak
sadar kuasnya jatuh dari tas mungilnya. Aku pun mengambil kuas itu dan ingin
mengembalikannya. Tapi, tak mungkin aku mengembalikan kuas pak Suyanto karna ia
sudah berlari jauh. Tak mungkin juga aku meletakkan kuas di tempat mangkal pak
Suyanto sambil menuliskan sepucuk surat untuknya, karna aku yakin pasti diambil
orang. Karena tidak ada pilihan lain, maka akupun menyimpan kuas itu.
Tak terasa jam menunjukkan pukul 16.00
sore. Matahari sudah mulai turun ke langit barat. Bekalku dari Kota Tua adalah
sebuah pelajaran dari seorang pelukis jalanan beserta sebatang kuas milik pak
Suyanto. Cukup dengan hati yang penuh haru dan pelajaran berharga yang kudapatkan
dari pak Suyanto membuatku ingin menjadi seorang seniman. Meskipun aku bukan
menjadi seniman lukis, tetapi menjadi seniman yang serba bisa di mana
modernitas telah menguasai dunia dengan
berbagai media digital dan teknologi canggih lainnya.
“Wahai pelukis! Meskipun setiap hari
berada di wilayah tekanan keamanan, aku sangat bangga dengan karyamu!” Sahutku
dalam hati sambil memasukkan kamera dalam tas dan pergi dari Kota Tua itu.
Wynn Resort and Casino - Wooricasinos
BalasHapusWynn Resort and bet365 korea Casino. Location: 7° 로투스 바카라 3.7 km²; 3.9 mi²; 3.6 프라하 사이트 mi²; 5.0 해외 안전 놀이터 star rating. 토토 사이트 홍보 게시판 Overall experience.