MANAJEMEN
KRISIS
1.1 Manajemen krisis
Krisis merupakan suatu kejadian
besar dan tidak terduga yang memiliki dampak negative tehadap suatu perusahaan
maupun oganisasi. Kejadian ini bisa saja menghancurkan organisasi dan karyawan,
produk, jasa kondisi keuangan, dan reputasi (Laurence Barton, dalam Windriati
2011). Di setiap perusahaan maupun organisasi, keadaan krisis mungin dan hampir
terjadi. Suatu organisasi maupun perusahaan yang mengalami krisis akan
mengalami keadaan gawat dan genting, yang mana organisasi maupun perusahaan
tersebut bisa menjadi lebih baik ataupun lebih buruk.
Krisis yang terjadi biasanya
dapat mengganggu transaksi normal, bahkan dapat mengancam kelansungan hidup
atau keberadaan suatu organisasi. Ancaman maupun datangnya krisis tidak teduga,
dan tidak diketahui oleh suatu organisasi atau perusahaan bahwa krisis dapat
mengancamnya. Dampak dari krisis sendiri akan menjadi malapetaka dan dapat
merugikan suatu organisasi ataupun perusahaan itu sendiri, juga dapat merugikan
komunitas sekitar. Secara tidak langsusng, suatu organisasi atau perusahaan
juga akan kehilangan kepercayaan dan reputasi di mata masyarakat, karna krisis
yang terjadi di suatu organisasi atau perusahaan tersebut akan meresahkan
masyarakat.
Oleh karena itu, krisis yang
terjadi harus ditangani secara cepat agar perusahaan maupun organisasi dapat
kembali normal. Penanganan krisis tergantung pada kemauan yang serius untuk
mengatasi kecepatan bertindak
yang tepat, kesiapan aparat untuk tenaga bantuan, kejujuran dan keterbukaan,
serta kerjasama dengan semua pihak. Sebelum penanganan krisis, tipe krisis
harus diketahui terlebih dahulu oleh praktisi public relation. Penanganan ini akan dilakukan dengan menggunakan
perencanaan strategik dan manajemen resiko, tergantungn pada tipe krisis yang
bersangkutan. Setiap krisis harus dihadapi serius oleh pimpinan dan disampaikan
kepada publik secara jujur, agar apabila krisis telah terlewati, maka public
akan yakin dan masih mempercayai organisasi ataupun perusahaan yang telah
mengalami krisis tersebut.
Mengenai hal tersebut, Claudia Reinhardt (Hiw
to Handle a Crisis, 1987 dalam Cutlip Center: 389), mengkategorikan tipe krisis
berdasarkan waktu, yaitu:
1.
Krisis yang
bersifat segera (immediate crises)
Krisis yang
bersifat severa merupakan krisis yang paling ditakuti karena terjadi secara
tiba-tiba, tidak terduga, dan tanpa diketahui atau diharapkan oleh suatu pihak,
organisasi mauoun perusahaan. Dalam krisis ini barus menyiapkan manajemen
khusus untuk melakukan bagaimana penanggulanagan krisis yang terjadi yang
besifat segera agar tidak menimbulkan kebingungan, konflik, dan penundaan dalam
menangani krisis tersebut.
2.
Krisis baru
muncul (emerging crises)
Sebelum melakukan perencanaan penanggulangan krisis,
tipe krisis ini masih dapat dilakukan penelitian dan perencanaan terlebih
dahulu oleh praktisi public relation. Namun, jika penanganannya dibiarlakn
terlalu lama, maka krisis ini akan meledak dan menghancurkan organisasi atau
perusahaan tersebut. Untuk mencapai tahapan krisis, public relation akan menvalami tantangan berat untuk mengambil
tindakan dalam perbaikan dan meyakinkan manajemen puncak.
3.
Krisis bertahan
(sustained crises)
Meskipun telah
dilakukan penanganan dan penanggulangan krisis oleh pihak manajemen organisasi
atau perusahaan, tetapi tipe krisis ini masih tetap terjadi selama
berbulan-bulan maupun bertahun-tahun (Morissan, dalam Windriati 2011).
1.2 Anatomi krisis
Krisis yang terjadi pada suatu perusahaan terjadi dalam berbagai
tahapan. Oleh karena itu, perlu dipahami tahapan-tahapan khusus dari suatu
krisis sebelum menentukan strategi manajemen dan komunikasi krisis. Perusahaan
maupun organissasi tidak akan mengalami banyak kerugian jika perusahaan maupun
organisasi tersebut dapat mengantisipasi berbagai krisis yang ada. Seorang
konsultan krisis terkemuka di Amerika, Steven Fink dalam (Windriati, 2011) , membagi siklus krisis dalam beberapa
tahapan. Masing-masig tahapan tersebut saling berhubungan dan membentuk siklus.
Adapun tahapan yang dimaksud, yaitu tahap prodromal, tahap akut, tahap kronik,
dan tahap resolusi (penyembuhan).
a.
Tahap
Pedromal
Pada tahap ini, krisis sudah
mulai muncul. Namun, baik perusahaan maupun organisasi masih bergerak lancar
karna krisis yang terjadi sering dilupakan orang. Tahap pedromal dapat
memberikan sirine tanda bahaya mengenai sintom-sintom yang harus diatasi. Hal
ini sering disebut sebagai warning stage.
Bila manajemen gagal mengartikan
atau menangkap sinyal ini, krisis akan bergeser ke tahap yang lebih serius,
yaitu tahap akut.
b.
Tahap Akut
Krisis tahap
akut sering disebut sebagai the point of
no return. Artinya sinyal-sinyal yang muncul pada tahap peringatan
(prodromal) tidak dapat dihindarkan. Krisis ini akan masuk ke tahap akut dan
tidak bisa kembali lagi. Reaksi krisis mulai berdatangan. Kerusakan dan isu
bermunculan dan menyebar luas. Begitupun dengan kerugian yang muncul sangat
tergantung pada manajemen penanggulangan krisis. Intensitas dan kecepatan
serangan krisis yang datang dari berbagai pihak menjadi penghalang dan sulit
untuk dapat menghadapi krisis pada tahap akut, karna kecepatan serangan itu ditentukan
oleh kompleksnya permasalahan (Windriati, 2011) .
c.
Tahap Kronis
Di dalam
perusahaan maupun organisasi, tahap kronis ditandai dengan perubahan structural,
bisa saja pergantian manajemen, pemilik, atau masuknya nama-nama baru sebagai
pemilik. Tidak hanya itu, dalam tahap ini bisa saja perusahaan bangkrut atau
dilikuidasi. Maka, skhir dari tahap ini
diselesaikan dengan langkah pembersihan atau biasa disebut sebagai tahap recovery atau self analysis.
d.
Tahap
Resolusi (Penyembuhan)
Tahap ini
merupakan tahap terakhir. Pada tahap resolusi (penyembuhan), meskipun bencana
besar (krisis) sudah berlalu, tetapi perusahaan perlu berhati-hati, karna pada
tahap ini krisis tidak akan pernah berhenti begitu saja. Tanpa disadari, bisa
saja krisis akan membawa kembali keadaan semula di tahap prodromal, karna pada
umumnya krisis berbentuk siklus (Kasali, dalam windriati 2011).
1.3 Pengelolaan krisis
Kasali
dalam (Windriati, 2011) menyebutkan langkah-langkah yang perlu
dilakukan dalam mengelola krisis, yaitu:
a.
Identifikasi
Krisis
Praktisi Public
Relation perlu melakukan penelitian agar
dapat mengidentifikasikan suatu krisis, yaitu dengan memahami faktor-faktor
penyebab terjadinya krisis, bisa berupa hubungan kerja yang buruk, terkait
dengan masalah kriminal, pergantian manajemen, dan lain sebagainya.
b.
Analisis Krisis
Sebelum
melakukan komunikasi, praktisi Public
Relations harus melakukan analisis parsial sampai analisis integral yang
kait mengkait atas masukan yang diperoleh.
c. Isolasi
Krisis
Agar krisis
tidak menyebar luas, maka dapat dicegah dengan isolasi. Tindakan isolasi ini
bisa berupa suatu kegiatan yang memerlukan penanganan khusus agar tidak
terganggu dengan kegiatan lain yang sedang berlansung.
d.
Pilihan Strategi
Sebelum
mengambil langkah-langkah komunikasi untuk mengendalikan krisis, perusahaan
perlu melakukan penetapan strategi generik yang akan diambil. Ada tiga strategi
generik untuk menangani krisis, yakni:
v Defensive
Strategy (Strategi Defensif),
meliputi:
-
Mengulur waktu
-
Tidak melakukan
apa-apa (not in action atau low profile), dan
-
Membentengi diri
dengan kuat (stone walling)
v Adaptive
Strategy (Strategi Adaptif),
meliputi:
-
Mengubah
kebijakan
-
Modifikasi
operasional
-
Kompromi
-
Meluruskan citra
v Dynamic Strategy (Strategi Dinamis), meliputi:
-
Merger dan akuisisi
-
Investasi baru
-
Menjual saham
-
Meluncurkan
produk baru/menarik peredaran produk lama
-
Menggandeng
kekuasaan
-
Melempar isu
baru untuk mengalihkan perhatian
e.
Program
pengendalian
Program
pengendalian adalah langkah penerapan yang dilakukan organisasi atau perusahaan
untuk menuju strategi generik yang telah dirumuskan. Dengan melakukan strategi
yang tepat, maka organisasi atau perusahaan dapat memperbaiki kembali citra
yang sempat negatif di mata masyarakat, sehingga akan terbentuk kembali citra
positif seperti yang sudah terbentuk sebelum krisis tersebut muncul. Adapun
program pengendalian biasanya disusun di lapangan ketika krisis muncul dengan
mengimplementasi pengendalian yang diterapkan pada:
-
Perusahaan
(beserta cabang perusahaan)
-
Industri
(gabungan usaha sejenis)
-
Komunitas, dan
-
Divisi-divisi
perusahaan
1.4 Komunikasi krisis
Komunikasi krisis merupakan
komunikasi antara organisasi atau perusahaan dengan public pada umumnya, baik
sebelum kejadian krisis, selama kejadian, maupun setelah kejadian krisis.
Komunikasi ini dirancang melalui program-program untuk meminimalisir kerusakan
terhadap citra organisasi (Frearn Banks,
dalam Prayudi 1998: 38). Dalam hal ini, informasi seputar krisis akan terus
meningkat ketika organisasi atau perusahaan tersebut mengalami krisis.
Kekhawatiran organisasi ataupun perusahaan akan terjadi dan dapat mengarah pada
tindakan-tindakan yang dapat merugikan organisasi atau perusahaan itu sendiri
seperti, penarikan modal, mundurnya investor, dan sebagainya. Maka dari itu,
Coombs (1994) (dalam Prayudi, 1998: 39) menyebutkan lima strategi yang biasanya
digunakan dalam komunikasi krisis, yaitu:
a.
Non – existence strategies.
Dalam strategi ini terdapat rumor, yang mana organisasi
atau perusahaan sedang menghadapi krisis, namun kenyataannya organisasi atau
perusahaan tersebut tidak mengalami krisis. Non
existence strategies berupa pesan penyangkalan
(denial), penjelasan disertai alasan (clarification), menyerang pihak penyebar
rumor (attack), dan mengancam berdasarkan hukum (intimidation).
b.
Distance
strategies.
Krisis yang
terjadi diakui oleh pihak organisasi ataupun perusahaan. Mereka berusaha untuk
memperlemah hubungan antara organisasi dengan krisis yang terjadi. Bahkan
organisasi melakukan penolakan terhadap krisis dan tidak bermaksud melakukan
hal-hal negatif, penyangkalan kemauan (excuse)
dan melakukan klaim bahwa kerusakan yang terjadi tidak serius (justification).
c.
Ingratiation strategies.
Bentuk oesan dalam strategi ini berupa pengingatan kepada
publik akan hal-hal positif yang dilakukan organisasi atau perusahaan dan
bertujuan untuk mencari dukungan publik. Organisasi ataupun perusahaan mengatakan
hal-hal baik kepada publik terhadap apa yang dilakukan publik, dan menempatkan
krisis dalam konteks yang lebih besar.
d.
Mortification strategies.
Pada strategi ini, organisasi atau perusahaan berusaha mengakui
kesalahan dan meminta maaf atas kenyataan terjadinya krisis. Bentuknya bisa
berupa kompensasi kepada korban, meminta maaf kepada publik, dan mengambil
tindakan untuk mengurangi krisis.
e.
Surffering
strategies.
Organisasi atau
perusahaan mengakui bahkan menunjukkan kepada public bahwa ia juga menderita
sebagaimana korban dari krisis untuk memperoleh dukungan dan simpati publik.
Reference:
Windriati, F. S. (2011). Analisa Manajemen Krisis PT
Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Pontianak dalam Peristiwa Tenggelamnya
Kapal Di Alur Pelayaran Pelabuhan. Skripsi, 38.
Windriati, F. S. (2011). Analisa
Manajemen Krisis PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Pontianak dalam
Peristiwa Tenggelamnya Kapal Di Alur Pelayaran Pelabuhan. Skripsi, 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar