POSTMODERNISME
(Analisis Pengaruh
Program Televisi “Let Me In”
Terhadap Operasi Plastik
Pada Wanita Di Korea Selatan)
Makalah Filsafat
Komunikasi
KELOMPOK VII
ABDI SANJAYA 004135602653083
ABIGAIL FLORENCIA CORES 004132616427943
KRISTIE YENSI POLII 004139975119560
NILAI PRESENTASI
98,43
DIGITAL
COMMUNICATION STUDY PROGRAM
GREEN
ECONOMY AND DIGITAL COMMUNICATION FACULTY
SURYA
UNIVERSITY
SERPONG
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur
ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Filsafat Komunikasi tentang Postmodernisme dengan judul pembahasan “Analisis Pengaruh Program Televisi “Let Me
In” Terhadap Operasi Plastik Pada Wanita Di Korea Selatan” untuk memenuhi salah satu persyaratan tugas Mata Kuliah Filsafat
Komunikasi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing
Mata Kuliah Filsafat Komunikasi, Bapak Aryaning Arya Kresna S.Fil., M.Hum., karena atas bimbingan beliau maka kami dapat mengetahui dan mengerti tentang Postmodernisme.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca pada umumnya. Akhir kata, semoga pembahasan ini dapat bermanfaat
sebagaimana tujuan yang kami harapkan.
Serpong,
November 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB
I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
1. Posmodern......................................................................................................... 1
1.1
Sejarah Postmodern..................................................................................... 1
1.2
Sejarah Filsafat Postmodern........................................................................ 3
1.3
Pengertian Postmodern................................................................................ 4
1.4
Tokoh Postmodern....................................................................................... 5
1.4.1
Michael Founcault............................................................................. 6
1.4.2
Friedrich Wilhelm Nietzsche............................................................. 7
1.4.3
Jacques Derrida................................................................................. 10
1.4.4
Jean Francois Lyotard....................................................................... 13
1.4.5
Jean Baudrillard................................................................................ 16
BAB
II ANALISIS PENGARUH
PROGRAM TELEVISI “LET ME IN” TERHADAP OPERASI PLASTIK PADA WANITA DI
KOREA SELATAN............................................ 19
1. Latar Belakang Masalah.................................................................................... 19
2. Rumusan Masalah............................................................................................. 22
3. Metode Penelitian............................................................................................. 22
4. Tujuan Penelitian............................................................................................... 23
5. Landasan Teori.................................................................................................. 23
6. Pembahasan....................................................................................................... 23
6.1 Bagaimana Pandangan Postmodern Terhadap
Program Televisi “Let Me In” Di Korea
Selatan? 23
6.2 Bagaimana “Grand Narasi” Yang Dibentuk dalam Program Reality Televisi Show “Let Me In” Pada Wanita Di Korea Selatan?......................................................................... 26
7. Penutup............................................................................................................. 27
7.1 Kesimpulan................................................................................................. 27
7.2 Saran........................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 28
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Postmodern
1.1
Sejarah
Postmodern
Istilah
postmodernisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Jerman, Rudolf Pannwitz, pada tahun 1917, untuk menggambarkan
nihilisme budaya barat abad ke-20. Istilah ini pertama kali muncul pada bidang
seni dan kemudian juga arsitektur, ketika perumahan Pruitt-Igoe di St. Louis
dihancurkan dengan dinamit dan dimulailah pengembangan karya-karya arsitektur
yang berwajah baru. Postmodernisme lahir sebagai kritik atas modernisme, yang
sangat berpegang kepada fundamentalisme dogmatis atau fudamentalisme
epitemilogis.
Keyakinan
fundamental/ fondasional menjadi syarat utama untuk membenarkan pengetahuan
yang dibangun di atasnya. Keyakinan-keyakinan tidak bersifat sirkuler, namun
harus sampai pada satu titik aksiomatis, yang tidak membutuhkan pembenaran
apapun. Jelas rasiolah yang mampu mengerjakannya dengan teliti, rasio adalah
pusat. Kebenaran (truth) adalah persesuaian antara sesuatu dengan fondasinya
dan sekaligus persesuaian antara akal dan kenyataan yang dicermati, antara
subjek yang mengamati dan objek yang teramati.
Fondasionalisme/fundamentalisme
menyimpan sebuah kepastian bahwa dasar mutlak tersebut tidak terikat pada ruang
dan waktu hidup manusia. Ia harus a-historis agar tetap mampu menjadi fondasi
ilmu dan segi-segi hidup lainnya. Kebenaran adalah absolut dan mengabaikan
dialog yang jujur dengan wacana historis dan sosial.
Kritik
postmodernisme terhadap fundamentalisme/ fondasionalisme mengemukakan bahwa
kriteria kebenaran adalah koherensi atau hubungan pertalian dan pengesahan
pernyataan seseorang oleh komunitas. Kebenaran amat terkait dan terikat pada
kenyataan sosial. Tidak pernah ada kebenaran yang fondasional, metafisis dan
independen, yang lepas dari kenyataan sosial. Usaha untuk mencapai kepastian
transenden, bagi kaum fondasional, justru membuat manusia berusaha menjadi
Allah dan lari dari batas-batas kemanusiaanya sendiri.
Kritik
postmodernisme adalah harapan manusia untuk menjadi apa saja harus diputuskan,
selain menjadi manusia saja. Komunitas menjadi sangat penting artinya. Jati
diri manusia mendapat tempat yang otentik dalam hidup bersama. Komunitas
menolak kesatuan, penyeragaman, dan kesamaan mutlak. Yang ada adalah ke-lain-an
(otherness) dan kepelbagaian (diversity).
Semangat
postmodern merambah pula sampai pada bidang ilmu teologi. Istilah
postmodernisme di bidang teologi pertama kali digunakan di Inggris pada tahun
1933 oleh Bernard Iddings Bell, seorang teolog yang berusaha mengetengahkan
kegagalan modernisme sekuler dan kembalinya agama dalam kehidupan manusia.
Teologi postmodernisme mengacu pada dua isu, yaitu: pertama, komunalitas hidup.
Teologi postmodernisme membebaskan manusia yang terasing dari manusia yang
berkuasa dan kemudian menempatkan mereka secara bersama-sama dalam kesejajaran.
Komunitas-komunitas basis yang selama ini terasing, diperkuat kembali. Manusia
hidup dalam konteksnya sehingga fungsi akal budi harus dibarengi dengan aksi
atau praksis terhadap kenyataan sosial yang dihadapi. Persoalan komunalitas
berimbas kepada oikumene.
Jika
oikumene dipahami sebagai seluruh bumi yang didiami, maka terdapat dua arah
teologis yang perlu dikembangkan, yaitu teologi oikumene yang berwawasan
ekologis, yang menempatkan manusia dalam konteks lingkungan semesta, dan perlu
dikembangkan sebuah teologi oikumene yang melihat kehadiran sesama yang beriman
lain dalam konteks dunia yang satu ini. Isu kedua dari teologi postmodernisme
adalah makna dan kebenaran. Ide pluralitas bukan hanya dalam diskursus mengenai
wacana suci namun juga tentang Allah sendiri, sungguh memberi kemungkinan
teologis yang besar bagi sebuah theologia religionum yang sehat. Seringkali
penganut eksklusivis menuduh kaum pluralis mengabaikan keunikan dalam
agama-agama.
Bagi
kaum pluralis, keunikan agama-agama adalah sebuah keunikan relasional. Artinya,
mengakui kebenaran yang diyakini bersifat relatif di tengah arena agama-agama
lain, tidak serta-merta mengabaikan keunikan kebenaran agama, namun sebaliknya,
mengakui keunikan kebenaran itu dalam relasi dengan agama lain. Sehingga
interpertasi-interpertasi bukan didasarkan kepada sesuatu yang sifatnya
universal, namun interpertasi sangat terikat dengan kondisi kultural,
kontekstual dan historis di mana manusia berada.
1.2
Sejarah
Filsafat Postmodern
Filsafat
postmodern pertama kali muncul di Perancis pada sekitar tahun 1970-an, terlebih
ketika Jean Francois Lyotard menulis pemikirannya tentang kondisi legitimasi
era postmodern, dimana narasi-narasi besar dunia modern (seperti rasionalisme,
kapitalisme, dan komunisme) tidak dapat dipertahankan lagi. Pada awalnya
postmodern lahir terhadap kritik arsitektur, dan harus kita akui kata
postmodern itu sendiri muncul sebagai bagian modernitas. Benih posmo pada
awalnya tumbuh di lingkungan arsitektur. Charles Jencks dengan bukunya “The
Language of Postmodern” . Architecture (1975) menyebut postmodern sebagai upaya
untuk mencari pluralisme gaya arsitektur setelah ratusan tahun terkurung satu
gaya. Pada sore hari di bulan juli 1972, bangunan yang mana melambangkan
kemodernisasian di ledakkan dengan dinamit. Peristiwa peledakan ini menandai
kematian modern dan menandakan kelahiran posrmodern.
Ketika
postmodern mulai memasuki ranah filsafat, post dalam modern tidak dimaksudkan
sebagai sebuah periode atau waktu tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang
hendak melampaui segala hal modern. Postmodern ini merupakan sebuah kritik atas
realitas modernitas yang dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek
pencerahan. Nafas utama dari posmodern adalah penolakan atas narasi-narasi
besar yang muncul pada dunia modern dengan ketunggalan gangguan terhadap akal
budi dan mulai memberi tempat bagi narasi-narasi kecil, lokal, tersebar dan
beraneka ragam untuk untuk bersuara dan menampakkan dirinya.
Postmodernisme
bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan atau realita adalah
relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain.
Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan
oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari konstruk sosial, kebenaran
disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan.
Akhirnya,
pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk
dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan sosiologi. Postmodern akhiryna
menjadi kritik kebudayaan atas modernita. Apa yang dibanggakan oleh pikiran
modern sekarang dikutuk dan apa yang dulu dianggap rendah sekarang justru
dihargai.
1.3
Pengertian
Postmodern
Secara
etimologis Postmodernisme terbagi menjadi dua kata, post dan modern. Kata post,
dalam Webster’s Dictionary Library adalah bentuk prefix, diartikan dengan
‘later or after’. Bila kita menyatukannya menjadi postmodern maka akan berarti
sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri dengan mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat terjawab di zaman modern yang muncul
karena adanya modernitas itu sendiri.
Sedangkan secara terminologi, menurut tokoh dari postmodern, Pauline
Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang
berlawanan antara lain:
Pertama,
postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya
memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu
yang diasosiasikan dengan modernitas yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban
Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa,
kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern
seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal,
toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi,
prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.
Kedua,
teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan
pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.
Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas)
adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama
lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri
dan mengkonstruk identitas diri.
Hal
ini senada dengan definisi dari Friedrich Wilhelm Nietzsche sche (1844-1900)
dikenal sebagai nabi dari postmedernisme. Dia adalah suara pionir yang
menentang rasionalitas, moralitas tradisional, objektivitas, dan pemikiran-
pemikiran Kristen pada umumnya. Nietzsche sche berkata, “Ada banyak macam mata.
Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu ada banyak macam
kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.” Menurut Romo Tom Jacob,
kata ‘postmodern’ setidaknya memiliki dua arti: (1) dapat menjadi nama untuk
reaksi terhadap modernisme, yang dipandang kurang human, dan mau kembali kepada
situasi pra-modernisme dan sering ditemukan dalam fundamentalisme; (2) suatu
perlawanan terhadap yang lampau yang harus diganti dengan sesuatu yang serba
baru dan tidak jarang menjurus ke arah sekularisme.
1.4
Tokoh
Postmodern
Tokoh-tokoh pemikir postmodern ini
terbagi ke dalam dua model cara berpikir yakni dekonstruktif dan rekonstruktif.
Para filsuf sosial berkebangsaan Prancis lebih banyak mendukung cara berpikir
postmodern dekonstruktif ini. Para pemikir Perancis itu antara lain: Friedrich
Wilhelm Nietzsche sche, ean Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michel Foucault,
Pauline Rosenau, Jean Baudrillard ,dan Richard Rorty. sementara pemikiran
postmodern rekonstruktif dipelopori oleh Teori Kritis Mazhab Frankfurt seperti:
Max Horkheimer, Theodor W Adorno, yang akhirnya dilengkapi oleh pemikiran
Jurgen Habermas.
1.4.1
Michael
Foucault (1926-1984)
Paul – Michel Foucault (Poitiers, 15
Oktober 1926 – Paris 25 Juni 1984) adalah seorang filsuf asal Perancis. Ia
adalah salah satu pemikir paling berpengaruh pada zaman pasca perang dunia II.
Foucault dikenal akan penelaahannya yang kritis terhadap berbagai institusi
sosial, terutama psikiatri, kedokteran dan sistem penjara, serta karya –
karyanya tentang riwayat seksualitas. Karyanya yang terkait kekuasaan dan
hubungan antara kekuasaan dengan pengetahuan
telah banyak didiskusikan dan diterapkan, selain pula pemikirannya yang terkait
dengan “diskursus” dalam konteks sejarah filsafat barat.
Menurut Foucault, bila dalam
paradigma modern, kesadaran dan objektifitas adalah dua unsur yang membentuk
subjek rasional – otonom, bagi Foucault konsep diri manusia sebenarnya hanyalah
produk bentukan diskurs, praktik – praktik, institusi, hukum ataupun sistem –
sistem administrasi belaka yang anonim dan impersonal namun sangat kuat
mengontrol. Salah satu hal paling inspiratif bagi postmodern adalah sikapnya
dalam memahami fenomena modern yang bernama “pengetahuan“ itu terutama
pengetahuan sosial. Ia memperkarakan tentang “apa itu pengetahuan“ secara
genealogis dan arkeologis. Dengan cara melacak bagaimana pengetahuan itu telah
beroperasi dan mengembangkan diri selama ini. Kategori – kategori konseptual
macam kegilaan, seksualitas, manusia dan sebagainya. Foucault mendefinisikan
kekuasaan dan sejarah adalah sebagai berikut: Kekuasaan adalah soal praktik-praktik
konkrit yang lantas menciptakan realitas dan pola- pola perilaku, memproduksi
wilayah objek – objek pengetahuan dan ritual- ritual kebenaran yang khas,
praktik-praktik itu menciptakan norma-norma yang lalu diproduksi dan
dilegitimasi melalui para guru, pekerja sosial, dokter, hakim, polisi dan administrator.
Sejarah adalah permainan dominasi dan
resistensi yang bergeser-geser, grouping dan regrouping. Akhirnya perlu disebut
jasa lain dari Foucault bagi postmodern adalah ia menampilkan otherness
secaralebih konkrit dan grafis dengan analisis-analisis nya atas pihak-pihak
yang dalam modernitas biasanya dianggap tidak normal dan tidak lazim yakni kaum
homoseksual, orang gila, tubuh, rumah sakit dan sebagainya. Dengan begitu
membukakan wilayah-wilayah wacana baru.
1.4.2
Friedrich
Wilhelm Nietzsche (1844-1900)
Lahir di Rochen, Prusia 15 Oktober 1884.
Pada masa sekolah dan mahasiswa, ia banyak berkenalan dengan orang-orang besar
yang kelak memberikan pengaruh terhadap pemikirannya, seperti John Goethe,
Richard Wagner, dan Fredrich Ritschl. Karier bergengsi yang pernah didudukinya
adalah sebagai Profesor di Universitas Basel. Menurutnya manusia harus
menggunakan skeptisme radikal terhadap kemampuan akal. Tidak ada yang dapat
dipercaya dari akal. Terlalu naif jika akal dipercaya mampu memperoleh
kebenaran. Kebenaran itu sendiri tidak ada. Jika orang beranggapan dengan akal
diperoleh pengetahuan atau kebenaran, maka akal sekaligus merupakan sumber
kekeliruan.
Postmodern dan Positivisme Nietzsche
adalah tokoh postmodern yang temasuk pengkritik pandangan positivisme August
Comte. Menurut Comte, subyek (manusia-red) mampu menangkap fakta kebenaran,
sejauh hal itu faktual, positif dan eksak. Akan tetapi menurut Nietzsche ,
manusia tidak tidak dapat menangkap fakta. Apa yang dilakukan manusia untuk
menangkap objek itu hanyalah sekedar interpretasi. (ST. Sunardi,1999:67-68)
Banyak pernyataan bahwa Nietzsche tidak percaya bahwa kita bisa mengetahui
kebenaran. Fakta kebenaran itu tidak ada, yang ada hanyalah interpretasi dan
dan perspektif. Maka dengan dengan sendirinya tidak ada kebenaran universal
yang tunggal. Penafsiran itu tidak itu tidak menghasilkan makna final, yang ada
hanyalah pluralitas (ST. Sunardi,1999:180).
Sehingga bagi Nietzsche, kebenaran adalah
suatu kekeliruan yang berguna untuk mempertahankan arus hidup. Konsepsi
epistemologis post-modern yang belum jelas merupakan persoalan yang cukup
mendasar. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam interpretasi, setiap orang
mempunyai sudut pandang dan perspektif sendiri-sendiri (berbeda-beda). Dalam
perpektif, subjek-subjek tertentu bisa dianggap benar, namun bisa jadi keliru
bagi perspektif subjek yang lain. Jika
pada masa Modern, manusia mengingkari agama oleh karena pengaruh rasionalitas,
namun pada masa Postmodern ini manusia mengingkari agama dengan irrasionalitas.
Pada postmodern ini bermunculan
agama-agama baru buatan manusia (--isme) yang merupakan hasil sinkritisme dan
pluralisme. Tidak ada kebenaran absolut dalam agama apapun atau mungkin bahkan
dalam kitab suci apapun, yang ada adalah kebenaran relatif, kebenaran menurut
masing-masing yang memandangnya, sehingga manusia di sini sebagai hakim penentu
kebenaran, dan bukan Tuhan yang menjadi penentu kebenaran melalui Kitab Suci
yang diwahyukannya. Derrida, melalui teori Dekonstruksi-nya, telah mengantarkan
kita pada sebuah model semiotika ketidakberaturan atau semiotics of chaos.
Dekonstruksi menolak kemapanan, menolak obyektivitas tunggal dan kestabilan
makna.
Karena itu, Dekonstruksi membuka ruang
‘kreatif’ seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan penafsiran. Itulah
Dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan mentafsirkan
suatu obyek tanpa batas. Ruang makna terbuka luas. Penghancuran terhadap suatu
makna oleh makna baru melahirkan makna-makna lain. Demikian seterusnya.
Sehingga, demikian bebas dan banyaknya makna dan tafsiran, membuat era
dekontruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tidak berarti lagi.
Fenomena postmodernisme ini memunculkan
berbagai macam persoalan tentang peran iman dan agama. Ketika manusia tidak
lagi percaya akan rasionalitas yang dianggap telah gagal melanjutkan proyek
pencerahannya, maka dunia tidak lagi diatur oleh kebenaran tunggal dan sistem
mekanis. Segala bentuk kebenaran tunggal ditolak dan direlativkan, demikian
juga agama, teologi dan ajaran iman. Pada saat itulah manusia berada dalam
kotak-kotak individualisme yang berdiri sendiri. Ada yang kemudian jatuh kepada
ekstrim fundamentalisme dan yang lain ke arah sekularisme.
Untuk itu, persoalan dasar dalam dunia
postmodern ini pertama-tama adalah soal hermeneutika dan komunikasi. Bahasa
menjadi medan hidup yang terus menerus dikembangkan sebagai bagian dari proses
hermeneutik dan komunikasi. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup ajaran
iman agama, teologi, ataupun narasi-narasi besar lainnya, namun juga terjadi di
setiap bidang kehidupan. Rasionalisme
universal manusia modern dengan cita-cita penyempurnaan manusia oleh manusia
sendiri menemui keterbatasannya secara sangat spektakuler dalam abad ini.
Rasionalitas universal itu seolah-olah ambruk.
1.4.3
Jacques
Derrida (Aljazair, 15 Juli 1930–Paris, 9 Oktober 2004)
Seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi
dan dianggap sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme, sebuah ajaran yang
menyatakan bahwa semuanya di-konstruksi oleh manusia, juga bahasa. Semua
kata-kata dalam sebuah bahasa merujuk kepada kata-kata lain dalam bahasa yang
sama dan bukan di dunia di luar bahasa. Derrida dianggap salah satu filsuf
terpenting abad ke 20 dan ke 21. Istilah-ilstilah falsafinya yang terpenting
adalah dekonstruksi,dan differance. Istilah dekontruksi untuk pertama kalinya
muncul dalam tulisan-tulisan Derrrida pada saat ia mengadakan pembacaan atas
narasi-narasi metafisika Barat. Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu
cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita
lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah
yang Derrida sebut sebagai logosentrisme . Metode dekonstruksi merupakan proyek
filsafat yang berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkan bahwa
filsafat barat seluruhnya bersifat logosentris.
Dengan demikian, dekonstruksi mengkritik
seluruh proyek filsafat barat. Sedangkan
difference dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa
struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua”
ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to-
self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran.
Derrida menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-tanda lain dan
kita tidak akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya merujuk ke dirinya
sendiri. Maka, tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda, namun lebih benar jika
dikatakan bahwa tulisan adalah tanda dari semua tanda-tanda. Dan proses
perujukan yang tidak terhingga (infinite) dan tidak habis-habisnya ini tidak
akan pernah sampai ke makna itu sendiri.
Inilah pengertian “tulisan” yang ingin
ditekankan Derrida. Derrida menggunakan istilah arche-writing, yakni tulisan
yang merombak total keseluruhan logika tentang tanda. Jadi, tulisan yang dimaksud
Derrida bukanlah tulisan (atau tanda) sederhana,yang dengan mudah dianggap
mewakili makna tertentu. Dilihat dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi
dari bahasa, dan bahkan telah ada sebelum ucapan oral. Maka tulisan malah lebih
“istimewa” daripada ujaran. Tulisan adalah bentuk permainan bebas dari unsur-unsur
bahasa dan komunikasi.
Tulisan merupakan proses perubahan makna
terus- menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan
kebenaran mutlak (logos). Jadi, tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas
tapak kaki, yang harus kita telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si
empunya kaki (yang kita anggap sebagai makna yang mau dicari). Proses berpikir,
menulis dan berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida
sebagai differance. Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan
pelafalannya persis sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari
kata differer-differance-difference, tidak hanya dengan mendengar ujaran
(karena pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya.
Di sinilah letak keistimewaan kata ini,
hal inilah yang diyakini Derrida membuktikan bahwa tulisan lebih unggul
ketimbang ujaran. Proses differance ini
menolak adanya petanda absolut atau “makna absolute,” makna transendental, dan
makna universal, yang diklaim ada oleh De Saussure dan oleh pemikiran modern
pada umumnya. Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya
penjarakan (spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut
sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah
atau kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah
ini membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan.
Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata
masih ada lagi jejak “kebenaran”lain di depannya, dan begitu seterusnya. Jadi,
apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang “ada di
depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan.
Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah ketidakpastian,
atau permainan. Semuanya harus ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari
kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah yang ditawarkan
Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.
Postmodern dan Kapitalisme atau
modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang
yang bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar
yang bisa dihasilkannya.Menurut para pemikir postmodern, modernitas itu ditandai
dengan sifat totaliternya akal budi manusia yang menciptakan sistem- sistem
seperti sistem ekonomi, sosial, politik, dsb. Sistem-sistem itu akhirnya
memenjarakan manusia sendiri sebagai budak dari sistem yang tidak menghargai sama
sekali dunia kehidupan.
1.4.4
Jean
Francois Lyotard (1924-1998)
Jean
francois lyotard lahir pada tahun 1924 di versailes kota kecil di sebelah
selatan kota paris. Lyotard lahir dari pasangan jean pierre lyotard dan
Madeleine. Awal karir lyotard bermula ketika ia mulai belajar filsafat di
Sorbonne setelah perang dunia ke II dan mendapat gelar agra’gation de
philosophie pada tahun 1950an. Kemudian pada tahun 1950 – 1952 ia mengajar di
sekolah menegah di kota konstantine, aljazair timur. Karirnya kemudian
dilanjutkan dengan menjadi seorang professor filsafat di universitas paris VII.
Jabatan tersebut ia pegang sampai usia pensiunnya di tahun 1989. Sebelum
memasuki usia pension, tepatnya pada tahun 1956 – 1966, lyotard juga berprofesi
sebagai anggota dewan redaksi jurnal sosialis Sosialisme an Berbarie
(Sosialisme dan keadaan barbar).
Meskipun
pada tahun 1950 dan 1960 ia adalah aktivis politik dengan pandangan-pandangan
Marxis namun, pada tahun 1980an Lyotard menjadi seorang filosof postmodernisme
non-Marxis. Oleh karena itu, postmodernisme menjadi sebuah keterlepasan
mendasar dari pemikiran totaliter yang diwakili oleh Marxisme. Sebelum
terbitnya buku The Differend : Phrases in Dispute, Lyotard sudah menunjukkan
arah perubahan filosofis ini.Pada tahun 1954 terbit buku pertama Lyotard yang berjudul
La Phenomenologie yang merupakan buku pengantar dalam memahami fenomenologi
Husserl. Meskipun ia pengikut kelompok Marxis akan tetapi ia selalu kritis dan
menolak interpretasi dogmatis terhadap pemikiran Marx seperti yang dilakukan
Stalinisme, Trotskyisme, dan Maoisme.
Dua belas tahun kemudian setelah terbit buku
pertamanya tersebut yakni tahun 1966, ia resmi menyatakan keluar dari Marxis
karena merasa kecewa dengan kegagalan gerakan Marxis untuk membangun masyarakat
sosialis yang adil sebagaimana digembar-gemborkan selama ini. Sebaliknya,
Marxisme berusaha menciptakan masyarakat yang homogen yang hanya dapat
diwujudkan dengan cara kekerasan dan pelanggaran hak-hak azasi manusia. Lyotard
sangat tidak setuju dengan keseragaman atau upaya menyeragamkan apalagi upaya
tersebut dicapai dengan jalan kekerasan. Baginya, salah satu karakteristik
masyarakat postmodern adalah individualis dan kebebasan untuk berbeda dengan
yang lain.
Istilah
postmodern tersebut merupakan kritik terhadap filsafat modernyang ia
perkenalkan pertama kali di dalam bukunya yang terkenal “La Condition
Postmoderne, Rapport sur le Savoir” terbit tahun 1979. Di buku tersebut, ia
mengatakan bahwa telah terjadi perkembangan dan perubahan yang luar biasa pada
pengetahuan, sains dan pendidikan pada masyarakat informasi. Perkembangan dan
perubahan tersebut telah menggiring masyarakat tersebut pada suatu kondisi yang
dia sebut sebagai postmodern.
Selama
empat puluh tahun terakhir ilmu dan teknologi yang terdepan menjadi semakin
terkait erat dengan bahasa, teori-teori linguistik, masalah komunikasi dan
sibernetik, komputer dan bahasanya, persoalan penerjemahan, penyimpanan
informasi, dan bank data.Transformasi teknologi berpengaruh besar pada
pengetahuan. Miniaturisasi dan komersialisasi mesin telah merubah cara
memperoleh, klasifikasi, penciptaan, dan ekspoitasi pengetahuan. Lyotard
percaya bahwa sifat pengetahuan tidak mungkin tidak berubah di tengah konteks
transformasi besar ini. Status pengetahuan akan berubah ketika masyarakat mulai
memasuki apa yang disebut zaman postmodern.
Pada
tahap selanjutnya, pengetahuan tidak lagi menjadi tujuan dalam dirinya sendiri
namun pengetahuan hanya ada dan hanya akan diciptakan untuk dijual. Dalam buku
tersebut, pemikiran Lyotard umumnya berkisar tentang posisi pengetahuan di abad
teknologi informasi ini, khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui,
yang disebutnya, “narasi besar” (grand narrative), seperti kebebasan, kemajuan,
emansipasi kaum proletar dan sebagainya. Menurut Lyotard, narasi-narasi besar
ini telah mengalami nasib yang sama dengan narasi-narasi besar sebelumnya
seperti religi, negara-kebangsaan, kepercayaan tentang keunggulan Barat dan
sebagainya, yaitu mereka pun kini menjadi sulit untuk dipercaya. Dengan kata
lain, dalam abad ilmiah ini narasi-narasi besar menjadi tidak mungkin,
khususnya narasi tentang peranan dan kesahihan ilmu itu sendiri.
Dalam kerangka ini pula, aspek mendasar yang
dikemukakan oleh Lyotard pada dasarnya merupakan upaya tentang kemustahilannnya
membangun sebuah wacana universal nalar sebagaimana diyakini oleh kaum
modernis. Bagi Lyotard dengan postmodernismenya menganggap bahwa untuk
mengaktifkan ilmu pengetahuan adalah dengan menghidupkan perbedaan-perbedaan,
keputusan-keputusan, dan keterbukaan pada tafsiran-tafsiran baru. Ia tidak
percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat diwadahi oleh suatu badan pemersatu yang
berupa sistem stabil. Sebab menurutnya, ilmu pengetahuan itu tumbuh sebagai
sistem yang organik, dalam arti tidak homogen apalagi tertutup pada
eksperimentasi dan permainan berbagai kemungkinan wacana. Dari perspektif
Lyotard ini, secara jelas kita dapat memahami bahwa postmodernisme adalah usaha
penolakan dan bentuk ketidakpercayaan terhadap segala “Narasi Besar”
filsafatmodern; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala
bentuk pemikiran yang mentotalisasi seperti Liberalisme, Marxisme, atau apapun.
Dengan
demikian, Postmodernisme, di samping menolak pemikiran yang totaliter, juga
menunjukkan dan menganjurkan kepekaan kita terhadap perbedaan dan memperkuat
toleransi terhadap kenyataan yang tak terukur.Postmodernisme dengan demikian
lahir untuk menolak anggapan-anggapan modernisme yang membawa keyakinan bahwa
filsafat melalui rasio sebagai sarananya mampu merumuskan hal-hal yang dapat
berlaku secara universal. Postmodernisme menolak cara pandang tunggal atau
paradigma tunggal dan sebaliknya menyatakan bahwa terdapat banyak paradigma
atau perspektif dalam melihat realitas dunia. Pandangan ilmu yang obyektif
universal harus digantikan oleh hermeneutika tentang realitas.
Memudarnya
kepercayaaan kepada narasi besar disebabkan oleh proses delegitimasi atau
krisis legitimasi, dimana fungsi legitimasi narasi-narasi besar mendapatkan
tantangan-tantangan berat. Sebagai contoh, delegitimasi adalah apa yang dialami
ilmu sejak akhir abad ke-19 sebagai akibat perkembangan teknologi dan ekspansi
kapitalisme. Dalam masyarakat pasca industri, ilmu mengalami delegitimasi
karena terbukti tidak bisa mempertahankan dirinya terhadap legitimasi yang
diajukannya sendiri.Legitimasi ilmu pada narasi spekulasi yang mengatakan bahwa
pengetahuan harus dihasilkan demi pengetahuan di masa capitalist technoscience
tidak bisa lagi dipenuhi. Pengetahuan tidak lagi dihasilkan demi pengetahuan
melainkan demi profit dimana kriteria yang berlaku bukan lagi benar-salah,
melainkan kriteria performatif yaitu, menghasilkan semaksimal mungkin dengan
biaya sekecil mungkin.
1.4.5
Jean
Baudrillard
Baudrillard
lahir di Reims, Perancis timur laut, pada tanggal 27 Juli 1929. Pada Tahun
1956-1966, ia menjadi guru sekolah menengah; mengkhususkan pada teori sosial
Jerman dan kesusasteraan. Baudrillard adalah seorang teroris, provokator,
filsuf, sekaligus nabi postmodernitas. Tulisan-tulisannya memiliki gaya yang
khas dan orisinal deklaratif, hiperbolik, aforistik, skeptis, fatalis, nihilis,
namun tajam dan cerdas. Tulisan-tulisan Baudrillard seperti bom yang meledakkan
suasana, dan menyajikan cara pandang baru terhadap realitas sosial postmodern.
Pada
tahun 1962-1963, ia mengulas tulisan-tulisan di Les Temps Moderne, termasuk
sebuah esai tentang Italo Calvino. Pada tahun 1964-1968, ia menerjemahkan
naskah-naskah Jerman kedalam bahasa Perancis, termasuk beberapa karya dramawan
Peter Weiss (Marat/Sade, The German Ideology nya Marx dan Engels, Messianisme
revolutionairre du tiers monde dari Muhlmann) dan Bertold Brecht. Pada bulan
Maret 1965, ia mempertahankan disertasinya “Thèse de Troisème Cycle” dalam
bidang sosiologi, Universitas Paris X – Nanterre yang diterbitkan menjadi Le
systèm des objets. Berperan aktif sebagai intelektual dalam demonstrasi
mahasiswa di Paris, pada bulan Mei 1968. Pada tahun 1970-1976, ia menjadi
maître-assistant di Nanterre. Pada tahun 1977-1978, ia meluncurkan serial
provokatif tentang esai antisosialis dan anti postrukturalis dalam bentuknya
yang sangat atraktif, publikasi gaya pamplet yang menutup kariernya sebagai
akademikus dan political outsider. Pada tahun 1995 ia mulai mengundurkan diri
dari kehidupan kampus, tetapi tetap aktif sebagai jurnalis, esais, dan
intelektual profesional bête noir.
Berikut
essai-essai yang diterbitkan dari Baudrillard: Understanding Media,
Marshall-McLuhan dalam jurnal Marxis humanis L’homme et la société (1966); Le
système des objets (1967); De la séduction (1980); Simulacres et simulation
(1981); menerbitkan Les stratégies fatales (1982); Amérique (1986); À l’ombre
des majorités silencieuses, ou la fin du social (1978) / In the Shadow of
Silent Majorities or, The End of the Social and Other Essays (1983); L’autre
par luimême (1987); La Guerre du Golfe n’a pas eu lieu (1991); La transparence
du mal (1990), Cool Memories II (1990), dan L’illusion de la fin (1992).
Sebagai
seorang sosiolog, Baudrillard menawarkan banyak gagasan dan wawasan yang
inspiratif. Pemikirannya menjadi penting karena ia mengembangkan teori yang
berusaha memahami sifat dan pengaruh komunikasi massa. Ia mengatakan media
massa menyimbolkan zaman baru di mana bentuk produksi dan konsumsi lama telah
memberikan jalan bagi semesta komunikasi yang baru. Sebagai pemikir aliran
postmodern yang perhatian utamanya adalah hakikat dan pengaruh komunikasi dalam
masyarakat pascamodern, Baudrillard sering mengeluarkan ide-ide cukup
kontroversial dan melawan kemapanan pemikiran yang ada selama ini. Misalnya
dalam wacana mengenai kreativitas dalam budaya media massa atau budaya cyber ia
menganggapnya sebagai sesuatu yang absurd dan contradictio in terminis. Bagi
Baudrillard, televisi merupakan medan di mana orang ditarik ke dalam sebuah
kebudayaan sebagai black hole. Ia menyebutnya Simulacra, di mana realitas yang
ada adalah realitas semu, realitas buatan (hyper-reality). Begitulah
Baudrillard memandang hakikat komunikasi massa.
BAB II
ANALISIS
PENGARUH
PROGRAM TELEVISI “LET ME IN”
TERHADAP
OPERASI PLASTIK
PADA
WANITA DI KOREA SELATAN
(STUDI
KASUS POSTMODERNISME)
1.
Latar
Belakang Masalah
Era
globalisasi sekarang ini kemajuan teknologi sangat berkembang dengan begitu
pesat. Sebenarnya, sejak dulu teknologi sudah ada atau manusia sudah
menggunakan teknologi. Seseorang menggunakan teknologi karena manusia berakal.
Dengan akalnya ia ingin keluar dari masalah, ingin hidup lebih baik, lebiah
aman, dan sebagainya. Perkembangan teknologi terjadi karena seseorang
menggunakan akalnya, dan akalnya untuk menyelesaikan setiap masalah. Menurut
W.J.S Purwadarminta (1986), teknologi adalah kemajuan yang berlandaskan
pengetahuan berdasarkan protes teknis.
Adapun
kemajuan teknologi tersebut ialah teknologi informasi (TI) yang telah merambah
ke berbagai bidang kehidupan manusia, salah satunya adalah pada bidang
kesehatan atau kedokteran. Kemajuan dalam bidang kesehatan ini sangat
berkembang dengan begitu pesat, sehingga banyak temuan-temuan yang didapatkan
dengan bantuan teknologi informasi baik dalam bidang pengorganisasian rumah
sakit, pengobatan, maupun penelitian pengembangan dari ilmu kesehatan itu
sendiri.
Pelayanan
kesehatan berbasis teknologi informasi tengah mendapat banyak perhatian dunia,
terutama disebabkan oleh janji dan peluang teknologi mampu meningkatkan
kualitas kehidupan manusia. Dalam bidang kedokteran, kemajuan teknologi
informasi sangat menunjang ilmu kedokteran baik klinis, dasar maupun komunitas.
Teknologi
yang semakin berkembang menuntut sebuah realisasi yag berdampak positif
terhadap kehidupan manusia, khususnya di bidang kesehatan. Seiring pesatnya
perkembangan teknologi, para pendahulu telah berusaha untuk menyempurnakan apa
yang telah diciptakan demi kesejahteraan manusia. Beberapa yang telah diciptakannya
kini dapat manusia rasakan sedemikian rupa. Hal inilah yang dianggap sebagai
hal yang dinilai berdampak positif terhadap kehidupan manusia terutama di
bidang kesehatan, seperti ditemukannya keahlian dalam bidang operasi plastik.
Operasi
plastik merupakan salah satu cabang dalam ilmu kedokteran. Secara umum operasi
plastik merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan kesempurnaan fisik.
Sekarang ini operasi plastik sudah menjadi tren, bahkan operasi plastik telah
lama menjadi bisnis besar di seluruh Asia, terutama di Korea Selatan. Menurut
International Society of Aesthetic
Plastic Surgery (ISAPS), Korea Selatan kini menjadi pasar terbesar di dunia
untuk prosedur kosmetik atau kecantikan.
Di
Korea, operasi plastik sudah lumrah untuk meningkatkan kepercayaan diri. Hampir
semua artis Korea melakukan operasi plastik untuk menyempurnakan dirinya secara
fisik, seperti memperbesar kelopak mata, pengurangan rahang, menghilangkan
keriput di wajah, pemangkasan tulang pipi, memancungkan hidung, dan mempertipis
bibir. Tidak hanya kalangan artis maupun selebritis, kalangan masyarakat biasa
juga melakukan operasi plastik.
Bukan
hal yang biasa lagi jika Korea Selatan menjadi negara nomor satu yang
melegalkan para masyarakatnya untuk melakukan operasi plastik. Bahkan, para
pelajar di Korea Selatan lebih memilih sebuah hadiah melakukan operasi plastik
daripada memilih untuk lulus sekolah. Oleh karena itu, saat ini banyak warga di
Korea Selatan yang melakukan operasi plastik dan operasi plastik itu sendiri telah
menjamur dalam kehidupan masyarakat mereka.
Dengan
menjamurnya operasi plastik di Korea Selatan, salah satu televisi lokal di
Korea Selatan membuat sebuah program acara yang bertemakan operasi plastik,
yaitu “Let Me In”. Program acara “Let Me In” adalah program reality show yang melakukan make over melalui prosedur operasi
plastik. Peserta yang mengikuti acara tersebut harus memenuhi banyak peraturan,
yaitu dilarang untuk bercermin melihat wajah baru peserta setelah operasi
plastik sebelum perawatan pulih sempurna. Apabila melanggar, maka peserta
didiskualifikasi. Saat ini program acara tersebut tayang di siaran televisi
berlangganan Channel M. Channel M adalah nama baru atau rebranding dari TVN
yang merupakan hasil kerjasama Fox International Channel Asia dan CJ
Entertainment yang muncul sejak 23 November 2012. Pada program acara televisi
tersebut menuai pro dan kontra dari masyarakat Korea Selatan.
Konsep
utama dari program ini adalah wanita yang datang untuk mengajukan diri di
hadapan host panel yang di antaranya adalah artis drama, CEO internet shopping
mall, dan tiga stylist. Jika
terpilih, maka ia akan mendapatkan tindakan operasi plastik dari team dokter
dan make over oleh stylist yang secara gratis. Sebagai gantinya, pasien yang
akan di operasi plastik akan menyerahkan seluruh hak image dirinya untuk
keperluan iklan operasi plastik. Acara ini secara tidak langsung juga sebagai
media promosi bagi rumah sakit atau dokter yang menangani, karena iklan tv
mengenai operasi plastik dilarang oleh pemerintah.
Walaupun
program acara ini berdampak positif bagi pasien, dokter, dan channel televisi
yang menayangkan, tetapi bagi peneliti hal ini merupakan sebuah kontroversi
pada era postmodern. Pauline Rosenau
(1992) mendefinisikan postmodern
merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi
janji-janjinya.
Postmodern
juga cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas,
yaitu pada kemajuan teknologi. Sama halnya pada acara “Let Me In” di siaran televisi Korea Selatan. Dengan adanya acara
tersebut, membuat banyak para wanita maupun pria untuk melakukan operasi
plastik secara gratis tanpa memikirkan image
mereka & resiko fisik yang akan mereka dapatkan apabila gagal operasi
plastik.
Secara
tidak sadar, seringkali operasi plastik salah dikaitkan dengan bedah kulit,
padahal ruang lingkup operasi plastik lebih luas dari pada sekedar pembedahan
kulit belaka. Sebenarnya tujuan utama dari operasi plastik adalah untuk
menjadikan atau merubah bentuk bagian tubuh manusia menjadi lebih baik atau
rusak akibat kecelakaan, luka bakar, atau cacat dari lahir. Namun, di Korea
Selatan pengaruh operasi plastik hanya digunakan untuk tren dan gaya saja,
bukan untuk kesehatan fisik, jasmani, dan rohani.
Oleh
karena itu, dari latar belakang diatas, kelompok kami tertarik untuk meneliti
“Pengaruh Program Televisi “Let Me In”
Terhadap Operasi Plastik Pada Wanita Di Korea Selatan“ dengan mengaitkannya
pada studi kasus postmodernisme.
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah umum pada penelitian ini
adalah “Bagaimana Pengaruh Program Televisi “Let Me In” Terhadap Operasi Plastik Pada Wanita Di Korea Selatan?
Sedangkan rumusan masalah khusnya adalah;
-
Bagaimana Pandangan
Postmodern Terhadap Program Televisi “Let
Me In” Di Korea Selatan?
-
Bagaimana “Grand Narasi” Yang Dibentuk dalam
Program Reality Televisi Show “Let Me In”
Pada Wanita Di Korea Salatan?
3.
Metode
Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini
adalah observasi dan studi pustaka. Metode penelitian observasi adalah metode
pengumpulan data yang mendapatkan sumber
data secara langsung di lapangan. Maka observasi yang kami lakukan pada penelitian ini adalah
dengan melihat video dokumentasi tayangan “Let
Me In” secara langsung di media sosial youtube.
Selain itu, kami juga melihat fanspage
“Let Me In” di media sosial facebook
untuk melihat status atau foto yang update pihak program acara Let Me In maupun komentar dari penggemar
acara Let Me In.
Sedangkan metode studi pustaka adalah
teknik pengumpulan data dengan mencari sumber data di website, penelaahan buku, jurnal, makalah dan lainnya yang
mendukung penelitian ini.
4.
Tujuan
Penelitian
Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut;
-
Bertujuan untuk
mengetahui pandangan postmodern terhadap Program televisi “Let Me In” di Korea Selatan,
-
Bertujuan untuk
mengetahui bagaimana “Grand Narasi”
yang dibentuk dalam program reality televisi show “Let Me In” pada wanita di Korea Salatan?
5.
Landasan
Teori
Teori yang digunakan pada penelitian ini
adalah teori postmodern berdasarkan pemikiran Jean Baudrillard dan Jean Francois
Lyotard beserta grand narasi-nya.
6.
Pembahasan
6.1 Bagaimana Pandangan
Postmodern Terhadap Program Televisi “Let
Me In” Di Korea Selatan?
Menurut
Gene Edward Veith (2013), bagi kaum postmodernis, moralitas merupakan suatu
masalah keinginan (desire). Sama
seperti halnya operasi plastik yang dilakukan oleh sekian banyak wanita di
Korea Selatan. Operasi plastik merupakan kejadian fenomenal yang sebenarnya
menentang tradisi bahkan moralitas telah muncul sebagai wujud terhadap adanya
pengaruh postmodernisme. Dahulu, masyarakat masih menganggap bahwa operasi
plastik adalah sesuatu yang tabu dan melanggar norma. Tapi sekarang, terlihat bahwa
semakin sedikit masyarakat yang menganggap bahwa hal itu adalah tabu, bahkan
ada pula yang menganggap bahwa hal-hal semacam itu adalah trend yang telah
menjadi sebuah gaya hidup. Bahkan di Korea Selatan mengesahkan adanya hal itu.
menurut
Jean Baudillard (dalam Ritzer, 2003: 641), masyarakat saat ini sudah tidak lagi
didominasi oleh produksi tetapi lebih didominasi oleh "media, model
sibernetika dan sistem pengemudian, komputer, pemrosesan informasi, industri
hiburan dan pengetahuan, dan lainnya"
Bila
dikaitkan tengan kasus yang ada, televisi adalah sebagai media untuk
menyampaikan informasi kepada pemirsa. Informasi tersebut berupa program acara reality show, yang mana reality show tersebut bernama “Let Me In” yang bertujuan untuk
menawarkan operasi plastik kepada pemirsa yang menontonnya. Tentunya, program
acara reality show tersebut dapat
memikat dan menghibur pemirsa serta memberikan pengetahuan kepada pemirsa
tentang adanya promosi operasi plastik. Bukan hanya promosi operasi plastik
saja, program acara reality show “Let Me
In” ini diproduksi untuk mempromosikan keahlian tenaga kedokteran,
teknologi yang dipakai, serta promosi rumah sakit.
Tujuan
ini sebenarnya telah bergeser dari eksploitasi dan keuntungan ke tujuan yang
ditentukan oleh tanda dan sistem yang menghasilkannya. Selanjutnya meski tanda
itu diartikan sebagai suatu kenyataan dan menunjuk pada tanda itu sendiri dan
yang lain, namun saat ini sejatinya tanda menunjukan pada dirinya sendiri. Kita
tak dapat mengatakan apa yang nyata itu, perbedaan antara tanda dan realitas
telah kabur. Dan masyarakat postmodern ditandai oleh ledakan dari dalam seperti
yang dapat dibedakan dari ledakan karena tekanan dari luar (ledakan sistem,
produksi, komoditi, teknologi dan sebagainya) yang menandai masyarakat modern.
Menurut
Baudrillard (2005), kehidupan postmodern saat ini ditandai dengan simulasi.
Proses ini mengarah kepada penciptaan simulacra atau "reproduksi objek dan
atau peristiwa". Dengan kaburnya perbedaan antara tanda dan realitas, maka
semakin sukar mengenali yang tulen dari barang tiruan. Berdasarkan pandangan
Baudrillard, maka dapat dikaitkan dengan contoh sebagi berikut;
Dari
gambar di atas, mungkin banyak orang mengira bahwa wanita (ibu) yang cantik dan
pria (ayah) yang tampan pada gambar memiliki wajah asli sejak lahir. Tetapi,
ketika pria dan wanita tersebut mempunyai seorang anak, dua anak, dan tiga
anak, namun tidak ada seorang pun dari anak mereka yang memiliki wajah yang
mirip dengan ayah ibunya. Padahal wajah ibu dan ayah mereka sangat cantik dan
tampan, tetapi anak mereka memiliki kekurangan wajah yang sama sekali tidak
mirip dengan ibu ayahnya. Hal ini dapat diketahui bahwa ibu dan ayah mereka
telah melakukan operasi plastik.
Di
sini lah dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan tanda dan realitas, artinya
seseorang yang ingin meninggalkan realitas sebenarnya, yaitu realitas bahwa
seseorang itu memiliki anggota tubuh yang kurang sempurna, sehingga memutuskan
untuk operasi plastik mempercantik penampilannya. Dengan demikian, maka manusia
semakin sukar mengenali yang tulen dari barang tiruan, artinya ketika seseorang
itu telah melakukan operasi plastik dan menjadi cantik, maka banyak orang yang
tidak tahu dan merasa sukar untuk mengenali wajah asli orang yang telah
melakukan operasi plastik tersebut. Apalagi dengan ditayangkannya program acara
reality show “Let Me In” tersebut,
sehingga membuat banyak orang baik pria maupun wanita berlomba-lomba untuk ikut
acara Let Me In dan melakukan operasi
plastik demi mendapatkan kesempurnaan anggota tubuh yang ideal, cantik, tampan,
dan baru.
Menurut
Baudrillard (2005), inilah lukisan dari kehidupan postmodernisme yaitu
terbentuknya hiperrealitas (realitas semu). Dengan contoh reality show “Let Me Ini”
ini dapat dikatakan media televisi sebenarnya berhenti menjadi cerminan
realitas, tetapi justru menjadi realitas itu sendiri, atau bahkan lebih nyata
dari realitas itu sendiri. Televisi tidak lagi menjadi sekedar pembawa berita
dan acara diskusi tetapi lebih dari itu menyuguhkan hiburan yang menjadi
realitas baru. Akibatnya adalah bahwa apa yang real (nyata) itu
disubordinasikan dan akhirnya dilarutkan sama sekali.
6.2 Bagaimana “Grand Narasi”
yang dibentuk dalam
program reality televisi show “Let Me In”
pada wanita di Korea?
Pada
program acara reality show “Let Me In” di Korea Selatan, program acara tersebut
merupakan suatu acara yang diambil dari kisah nyata dari para peserta yang
memiliki masa lalu yang menyakitkan. Karena tidak tahan dengan perlakuan
menyakitkan, akhirnya peserta ingin mengubah bentuk wajah dan tubuhnya menjadi
cantik dan ideal melalui operasi plastik dengan mengikuti program acara
televisi “Let Me In”. Dalam acara tersebu tterdapat pesan-pesan
yang disampaikan atau dinamakan
grand narasi. Terlihat disini bahwa rumah produksi
pertelevisisan telah menemukan format acara baru yang dapat menarik perhatian
para pemirsa, tentunya memikat para pemirsa untuk melakukan operasi plastik.
Keuntungan dan laba besar serta rating yang tinggi pun dapat diraih.
Tayangan tersebut menimbulkan kepercayaan pada masyarakat
yang menonton program tersebut. Sehingga dalam benak masyarakat untuk mendapatkan kecantikan yang maksimal harus melakukan operasi plastik. Dengan adanya realitas
ini, maka dapat menghasilkan pola budaya yang mudah meniru (imitasi) apa yang
dilihatnya sebagai sebuah kenyataan di media televisi serta terbentuknya pola
pikir yang serba instan, membentuk manusia yang segala sesuatunya ingin cepat
saji.
7.
Penutup
7.1 Kesimpulan
Postmodern
memandang tidak ada kebenaran yang mutlak sehingga operasi plastik dianggap
menentang tradisi bahkan moralitas telah muncul sebagai wujud terhadap adanya
pengaruh postmodernisme. Selain itu operasi plastic di Korea Selatan juga
dianggap sebagai suatu trend dan di setujui oleh pemerintah. Dapat dikatakan
dalam masyarakat postmodern ini, nilai-nilai agama tersingkir dan berubah
menjadi pandangan pribadi yang tabu untuk digunakan dalam operasi plastik.
Acara
reality show dianggap lazim dalam masyarakat postmodern. Acara “Let Me In”
menjadi bukti bahwa di Korea operasi plastik sangat disukai dan diinginkan oleh
setiap wanita yang ada. Acara ini menjadi sarana komunikasi agar wanita korea
makin tampil cantik. Selain itu menjadi sarana promosi bagi dokter kecantikan
di Korea, promosi teknologi, serta tenaga medis. Banyak wanita yang
menginginkan agar wajahnya di operasi seperti peserta operasi itu sendiri,
bahkan ada yang menganggap operasi plastik sebagai dewa atau sangat mengagumi
acara tersebut. Akan tetapi sebenarnya yang ada apabila operasi plastik kita
mendapatkan realitas semu dan cenderung kita membentuk pola meniru dalam
masyarakat (imitasi).
7.2 Saran
Pertahankan
moral, ajaran agama, dan tradisi yang sudah diyakini sejak awal. Jangan mudah terpengaruh
terhadap sesuatu yang semu akan tetapi milikilah pendirian agar tidak terbawa arus
manapun. Jadilah diri sendiri dan jangan menipu diri dengan suatu realitas semu
atau palsu karena dapat merugikan diri kita sendiri
DAFTAR
PUSTAKA
Berger, Arthur Asa. 2006. Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern.
Serpong: Marjin Kiri.
Christopher, Norris. 2003. Membongkar Teori Deskontruksi Jacques
Derrida. Yogyakarta: Arruss.
Demartoto, Argyo. 2007. Mosaik Dalam
Sosiologi. Surakarta: UNS Pers.
Foucault, Michael. 2002. POWER/KNOWLEDGE: Wacana Kuasa/ Pengetahuan.
Yogyakarta: Bentang Budaya.
Handy, Bruce. 1988. “A Spy Guide to Postmodern Everything”, dalam
Spy Magazine April 1988. URL: http://fawny.org/spy/spy-april-1988.htm.
dilihat 8 November 2014, pukul 10.29 WIB.
Kvale, Steinar. (2006). Psikologi dan Posmodernisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lash, Scoot. 2004. Sosiologi Postmodern. Jakarta: Kanisius.
Lyotard, Jean Francois. (1984). The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge. Minneapolis: University of Minesota Press.
Maksum, Ali. 2009. Pengantar Filsafat : Dari Masa Klasik Hingga
Postmodernisme. Jakarta: Ar-Ruzz Media.
O’Donnell, Kevin. 2009. Postmodernisme. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Purnomo, Ari. 2006. Narasi Kecil Sebagai Legitimasi Ilmu
Pengetahuan era Postmodern Menurut Jean Francois Lyotard: Sebuah Skripsi.
Yogyakarta: FTW.
Rahayu, Sri. (2006). Epistimologi Friedrich Wilhelm Nietzsche
sche, dalam Epistimologi Kiri. Jogjakarta: Ar-Ruuz.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
Sugiharto, Bambang. (1996). Postmodernisme – Tantangan Bagi Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
Turner, Bryan. 2000. Sosiologi Modernitas dan Postmodernitas.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumber
Web:
http://www.tahupedia.com/content/show/317/10-Fakta-Mengenai-Operasi-Plastik-Korea (diakses 10 November 2014)
http://www.infospesial.net/38453/reality-show-let-me-in-sajikan-keajaiban-operasi-plastik-korea/ (diakses 10 November 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar