Kampus Ku Untuk Indonesia Jaya

Kampus Ku Untuk Indonesia Jaya

Minggu, 29 November 2015

MATERI: ETIKA & HUKUM MEDIA

Faculty of Green Economy & Digital Communication
Digital Communication Study Program / 2015-2016

NAMA                        : ABDI SANJAYA
NIM                            : 004135602653083
MAKUL                     : Etika dan Hukum Media
HARI/TANGGAL     : Selasa, 13 Oktober 2015

SOAL
1      Mengapa pertimbangan etika dan hukum diperlukan atau bahkan dapat dikatakan sebagai sebuah kemestian berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi media?
Jelaskan secara komprehensif dan berikan contoh kasusnya!
JAWABAN:
Merujuk pada konsep-konsep etika dalam media, khususnya di dunia pers, setiap kegiatan yang dilakukan baik produksi, distribusi, maupun konsumsi media memerlukan pertimbangan etik. Paling tidak terdapat dua pertimbangan etik, yaitu pertimbangan etik yang mengatur perilaku profesi jurnalis dan pertimbangan etik yang mengatur perilaku perusahaan media secara umum yang terbentuk dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang penyiaran (Amalo, 2015).
Pertimbangan-pertimbangan etika jurnalistik dalam dunia pers secara umum, yaitu menyampaikan informasi penting kepada public secara akurat, jujur, dan tidak berpihak. Dari ketiga regulasi tersebut, kode etik merupakan ujung tombak yang berperan penting dalam hal praktek jurnalistik. Selain itu, sebagai institusi social yang mencakup banyak kepentingan (masyarakat, pemilik media, wartawan, logika pasar, institusi politik, social, ekonomi dan budaya) dalam kegiatan media massa juga sangat dibutuhkan Perundang-Undangan dan tata aturan etika. Hal tersebut berperan penting dan bertujuan untuk melindungi masyarakat serta melindungi profesi wartawan dan institusi media itu sendiri.
Selain itu, ada beberapa pertimbangan etika dan hukum yang diperlukan dan diterapkan dalam kerja di media. Pertama media mempunyai kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap public. Realitas menunjukkan bahwa media rentan memanipulasi public. Dengan demikian, etika dan hukum komunikasi dibutuhkan untuk melindungi publik yang lemah dari manipulasi media (Haryatmoko, 2007).
Kedua, etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggungjawab media. Salah satunya adalah mengingatkan tendensi korporatis media besar yang selalu memonopoli kritik, sementara kerja-kerja mereka tersebut tidak ingin dikritik dengan argument kebebasan pers. Ketiga, etika komunikasi ingin menghindari dampak negative dari logika instrumental media yang bertujuan untuk mempertahankan eksistensi media di depan public (Haryatmoko, 2007).
Etika sendiri menjadi pegangan utama bagi para pekerja media di luar regulasi dan kebijakan pemerintahan yang bersifat formal. Etikalah yang memandu komunikator mengenai bagaimana seharusnya mereka berperilaku dalam berbagai situasi, di mana kegiatan mereka mungkin mempunyai dampak negative terhadap orang lain
Kemudian, berbicara soal etika tidak hanya menyangkut dunia jurnalistik saja, tetapi juga dalam dunia penyiaran kode etik perlu dibutuhkan. Hal ini berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang didalamnya terdapat pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran. Etika penyiaran memang sudah disusun sebagai landasan moralitas dalam program siaran Lembaga Penyiaran (KPI, 2015).
Namun, sampai saat ini praktik etika penyiaran masih belum sempurna. Pelanggaran kode etik terus saja terjadi dan hanya mendapat sanksi berupa teguran. Di Indonesia sendiri, ada beberapa contoh kasus yang melanggar etika dalam bermedia, khususnya media penyiaran. Salah satu contoh yang belum lama terjadi adalah prosesi pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita yang pertama kali dipelopori oleh Trans TV pada 16 dan 17 Oktober 2014 kemudian RCTI mengikuti untuk bagian resepsi.
Sebelum prosesi dilaksanakan, stasiun TV tersebut telah memberikan porsi lebih untuk menayangkan pra acara pernikahan Raffi dan Gigi. Namun parahnya, pada Oktober 2014 Trans TV menyiarkan prosesi secara live dengan durasi sekitar 17 jam (Khumaini, 2014). Atas perbuatan tersebut, KPI melayangkan surat teguran tertulis di karenakan pemakaian durasi secara tidak wajar dan tidak memberikan manfaat kepada public sebagai pemilik frekuensi. KPI Pusat juga memutuskan bahwa tindakan penayangan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2012 pasal 11 ayat (1) (Khumaini, 2014).
Oleh karena itu, dari contoh kasus diatas, dalam menegakkan etika media penyiaran di Indonesia tentunya diperlukan regulasi of fairness untuk mengontrol dan memutuskan kebijakan media penyiaran agar tercipta dunia penyiaran yang sehat, seimbang, dan dinamis antara pemangku kepentingan yakni KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), pengelola industri penyiaran, pemerintah, dan public yang mengkonsumsi media dan harus saling berelasi untuk menyamakan kepentingan dan mengambil keputusan yang tepat mengenai etika-etika dalam media penyiaran.

SOAL
2      Bagaimana pandangan saudara mengenai ruang public dan keterkaitannya dengan demokrasi yang dianut oleh sebuah negara?
Penjelasan dilengkapi contoh ruang public di Indonesia, dikaitkan juga dengan kondisi civil society Indonesia!
JAWABAN:
Ruang public ditujukan sebagai mediasi antara masyarakat dan negara dengan memegang tanggungjawab negara pada masyarakat melalui publisitas. Tanggungjawab negara mensyaratkan bahwa informasi-informasi mengenai fungsi negara di buat agar bisa diakses sehingga aktifitas-aktifitas negara menjadi subyek untuk dikritisi dan mendorong opini public.
Di dalam upaya untuk mengembangkan peran civil society, maka di sini diperlukan adanya system demokrasi dalam suatu negara. Namun, sangat sulit bagi sebuah negara yang memiliki tingkat pluralitas tinggi untuk menerapkan system demokrasi. Contohnya seperti di Indonesia yang memiliki pluralitas yang cukup tinggi, sehingga masih sulit untuk menerapkan demokrasi.
Demokrasi sendiri tidak cukup hanya dibangun dengan terpilihnya pemimpin sipil lewat pemilihan umum yang jujur dan adil. Demokrasi membutuhkan kepemimpinan politik yang mampu membangun fondasi bagi tegaknya supremasi hukum, terjaminnya hak-hak asasi warga negara, pers yang bebas, dan system politik yang seimbang diantara lembaga-lembaga negara (Judittya, 2015).
Disisi lain, demokrasi juga akan berjalan apabila masyarakatnya ikut mendukung dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam kondisi Indonesia saat ini, kepemimpinan politik bangsa masih kelihatan lemah. Masyarakatnya juga baru belajar berdemokrasi dan menganggap semua persoalan seakan-akan bisa diselesaikan lewat unjuk rasa.
Dengan kata lain, good governance hanya bisa tercipta melalui pemerintahan yang kuat dan terkonsolidasinya masyarakat madani (civil society) yang memposisikan dirinya sebagai kelompok penyeimbang negara (Sutrisnowati, 2013). Persoalan sengit yang dihadapi oleh bangsa ini adalah penataan kembali system kelembagaan politik, public, dan social kemasyarakatan. Selain itu juga, masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa peradaban masyarakat madani (civil Society).
Civil society dan demokrasi ibarat “the two side at the same coin”. Artinya jika civil society kuat, maka demokrasi akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Sebaliknya, jika demokrasi tumbuh dan berkembang dengan baik, maka civil society akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Sebab itulah para pakar mengatakan civil society merupakan rumah tempat bersemayamnya demokrasi dan saling memiliki keterkaitan dan hubungan antara satu dengan yang lainnya (Sutrisnowati, 2013).
Menguatnya civil society saat ini sebenarnya merupakan strategi yang paling ampuh bagi berkembangnya demokrasi untuk mencegah hegemoni kekuasaan yang melumpuhkan daya tampil individu di masyarakat. Di Indonesia sendiri juga banyak dijumpai individu, kelompok masyarakat, elite politik, dan elite penguasa yang berbicara atau berbuat atas nama demokrasi, walaupun secara esensial.
Kemudian, berbicara mengenai berkembangnya masyarakat madani (civil society) di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengecangan kebebasan berpendapat, berserikat, dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di muka umum, lalu dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non-pemerintah yang mepunyai kekuatan dan bagian dari control social.
Sampai pada masa Orde Baru pun, tekanan demokrasi dan penindasan HAM tersebut masih luas dan bahkan menjadi tontonan gratis yang bisa dinikmati oleh siapa saja untuk segala usia. Misalnya pada contoh kasus pemberedelan lembaga pers seperti MAJALAH TEMPO (Haryanto, 2013). Pembredelan Majalah Tempo selama 19 tahun tersebut adalah kisah sejarah. Namun, bagaimana Tempo terus berjalan setelah hampir beberapa dekade tersebut harus tercatat dalam sebuah sejarah.
Bagaimanapun, pembredelan bukan lagi suatu tindakan popular oleh penguasa ketika arus informasi mengalir deras, namun ketegaran untuk menjadi pemberi informasi yang harus benar. Contoh kasus 19 tahun pembredelan Majalah Tempo tersebut adalah pelajaran berharga kepada rekan-rekan pengelola industry media sampai saat ini (Haryanto, 2013).
Selain contoh kasus diatas, ada lagi kasus yang sering terjadi di Indonesia. Misalnya banyak terjadi pengambilan hak-hak tanah rakyat oleh penguasa dengan alasan pembangunan, juga merupakan bagian dari penyelewengan dan penindasan Hak Asasi Manusia (HAM), karena hak tanah atas nama yang secara sah memang dimiliki oleh rakyat. Dipaksa dan diambil alih oleh penguasa haknya karena alasan pembangunan sebenarnya masih bersifat semu. Hal ini semua merupakan indikasi bahwa Indonesia masih belum menyadari pentingnya toleransi dan semangat pluralisme.
Melihat fenomena itu semua, maka secara esensial Indonesia memang mebutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyrakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mempu menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, maka diperlukan pengambangan masyarakat madani (civil society) dengan menerapkan strategi pemberdayaan dan pembinaan agar mencapai hasil yang optimal.

Referensi:
Amalo, G. (2015, January 8). Pertimbangan dalam Soal Etika Media. Retrieved from Kedai Tjerita: Roeang Oelah Pikir & Boedi Pekerti: http://gentryamalo.com/2015/pertimbangan-dalam-soal-etika-media/
Haryanto, I. (2013, Juny 21). 19 Tahun Pembredelan Majalah Tempo. Retrieved from Tempo.co: http://www.tempo.co/read/kolom/2013/06/21/755/19-tahun-pembredelan-majalah-tempo
Haryatmoko. (2007). Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius.
Judittya, R. (2015, Juny 25). Media Baru & Politik. Retrieved from Institut Komunikasi Indonesia baru: http://komunikasi.us/index.php/course/18-teknologi-dan-media-baru/5060-potilik-dan-media-baru
Khumaini, A. (2014, October 17). Siarkan nikah Raffi-Gigi dua hari, Trans TV resmi ditegur KPI. Retrieved from Merdeka.com: http://www.merdeka.com/peristiwa/siarkan-nikah-raffi-gigi-dua-hari-trans-tv-resmi-ditegur-kpi.html
KPI. (2015, October 10). Komisi Penyiaran Indonesia. Retrieved from UNDANG-UNDANG PENYIARAN: http://www.kpi.go.id/download/regulasi/UU%20No.%2032%20Tahun%202002%20tentang%20%20Penyiaran.pdf
Sutrisnowati, V. F. (2013). CIVIL SOCIETY, KONSEP UMMAH DAN MASYARAKAT MADANI . Portal Garuda, 13.

CERPEN: PENGORBANAN SEORANG IBU

SURAT TERAKHIR
By Abdi Sanjaya

Aku Gracia Rossela, biasa dipanggil Grace oleh teman-temanku di kampus. Aku sangat beruntung dibesarkan dengan wajah yang sangat cantik, tinggi, langsing, dan berkulit mulus, serta kuliah di Universitas termahal di Indonesia. Aku tidak mengira bahwa aku bisa kuliah di Universitas tersebut karna keadaan keluarku yang minim. Keberuntunganku menjadi gadis yang pintar dan selalu mendapatkan prestasi membuat diriku bisa kuliah di Universitas termahal dari cabang beasiswa.
Namun, kebahagiaanku mendapatkan kesempurnaan selalu dihalangi oleh seorang wanita tua renta yang hanya memiliki mata satu. Ya…! Dia adalah ibu ku. Ibu yang selalu membuatku malu dan selalu menjadi penghalang untuk kesempurnaan hidupku. Aku sangat benci. Benar-benar benci dengan ibuku yang buta.
Pernah suatu saat ketika aku pulang kuliah dengan teman-temanku, Aku berpapasan dengan ibu yang kebetulan sedang menyapu di depan rumah. Sekilas aku melihat wajahnya tersenyum sambil mengacungkan tangan tanda sambutan kepada anaknya yang baru pulang dari kampus. Hah! Tak ada sedikitpun dari raut wajahku untuk tersenyum kepadanya. Sungguh sangat malu apabila aku bersalaman dan mencium tangan ibuku. Itu sangat menjijikan dan sangat memalukan dalam hidupku. Apalagi jika aku bersalaman dengan ibu tepat didepan temanku. Sungguh memalukan!
“Grace! Dia ibumu?” Tanya salah seorang temenku singkat.
“Bukan! Dia pembantu!” Jawabku lantang sambil masuk kedalam rumah.

***
Keesokan harinya aku sangat marah dengan ibu gara-gara ibuku datang ke kampus mengantarkan bekal makananku yang kebetulan tertinggal. Aku menarik tangan ibu keluar kampus dan membantingnya.
“Sudah ku katakan Ibu jangan pernah untuk menemuiku di kampus!” tegas ku singkat. “ibu itu buta! Dan ibu bisa membuat aku malu! lanjut ku sambil menghentakkan kaki pergi menjauh darinya. Selanjutnya aku tak tahu ia pergi kemana, pulang kerumah, atau menjajakan makanan yang ia jual.
Sesaat aku kembali ke kelas, teman-temanku malah meledekku dan bertanya:
“Ibu mu punya mata satu?”
Sekilas mendengar itu, aku langsung menampar wajah temanku sekeras-kerasnya. Kemudian aku berlari pulang kerumah untuk melampiaskan kemarahanku kepada ibu. Dirumah aku langsung masuk kamar dan memasukkan pakaianku ke dalam koper. Melihat kejadian itu, ibu langsung panic dan berusaha menenangkanku. Namun, percuma saja ibu meleraiku karna hatiku benar-benar marah.
“Grace, jangan pergi Grace! Ibu mohon…!” kata ibu sambil menangis dan memegang tanganku.
Merasa dihalangi aku pun berusaha melepaskan genggaman tangan ibu di tangan ku kemudian aku mendorong ibu sampai terjatuh dilantai.
“Kenapa sih ibu punya mata satu! Ibu hanya membawa bahan tertawaan dalam hidupku! Kenapa ibu tidak mati saja! Aku benci Ibu!” sahutku langsung pergi. Di situ ibu hanya menangis tersedu-sedu.

***
Sudah seminggu aku meninggalkan rumah. Ibu memang selalu menelponku, tapi tak pernah aku jawab telpon darinya. Bahkan aku menggati SIM card ku agar ibu tidak pernah menghubungiku.
Suatu ketika diminggu yang sama aku mendapatkan kiriman surat dari bapak pos. Aku membuka surat itu. Bentuknya terlihat usang dan kucel. Lalu aku membacanya.
“Anak ku,
Ibu pikir hidupku sudah cukup lama saat ini. Ibu minta maaf apabila ibu memiliki banyak kekurangan. Ibu menyesal dan ibu tidak akan pernah lagi datang ke kampus untuk kamu. Ibu minta maaf jikalau ibu hanya memiliki satu mata dan ibu hanya membawa malu untuk mu.
Kamu tahu? Ketika kamu masih sangat kecil, kamu terkena sebuah kecelakaan dan kehilangan satu matamu. Sebagai seorang ibu, aku tak tahan melihatmu harus tumbuh dengan hanya satu mata, maka ibu memberikan mata untuk mu.
Ibu sangat bangga denganmu nak! Kamu bisa melihat dunia dengan leluasa, kamu bisa melihat dunia baru untuk ibu, dan menggantikan ibu dari mata itu. Ibu tidak akan pernah marah kepadamu atas apapun yang kamu lakukan. Beberapakali ketika kamu marah kepada ibu, ibu hanya berfikir bahwa ini karna kamu mencintai ibu.
Ibu rindu ketika kamu masih kecil dan berada disekitar ibu. Ibu rindu ketika ibu memeluk mu, membelai rambutmu, bahkan mencium keningmu.
Ibu sangat merindukanmu nak… kamu adalah dunia ibu…”

Setelah membaca surat itu, aku langsung berlari sekencang-kencangnya. Di jalan pikiranku entah melayang kemana. Aku berlari sambil teringat flashback ketika aku mendorong ibu, mengatakan kata-kata yang tak sewajarnya kepada ibu, mencampakkannya… dan aku sangat menyesal. Belum lagi sesampai dirumah aku dikagetkan oleh banyak orang yang berpakaian hitam. Aku kaget dan benar-benar kaget.
Bahkan aku sangat kaget ketika ada sesosok wanita tua terbaring pucat berbungkuskan kain putih di tengah-tengah kramaian orang. Ya.. wanita tua itu adalah ibu ku, ibu yang selama ini membesarkanku, mengasih sayangi aku, merawatku, dan memberikan separuh tubuhnya untuk kesempurnaanku. Tak dapat menahan isak tangis dimataku, aku langsung memeluk jasat ibu. Jasat ibu yang sudah tak bernyawa dan tak akan pernah kembali lagi untukku. Aku menagis semerta-merta dan menjadi-jadi.
Di situ aku benar-benar menyesal. Menyesali hidup yang selama ini aku lakukan kepada ibu. Seharusnya aku tak akan pernah malawan ibu selayaknya ia mengajariku dengan sabar, membantingnya selayaknya ia menggendongku waktu kecil, dan meninggalkannya selayaknya ia melindungiku ketika aku mendapatkan kecelakaan. Aku menyesal dan menyesal… ibu… maafkan aku…

***

CERPEN: SEBATANG KUAS

SEBATANG KUAS
Oleh: Abdi Sanjaya
NIM: 004135602653083



Suasana Kota Tua Jakarta yang penuh dengan aroma polusi mulai membungkus langit kota yang hitam oleh asap-asap pabrik dan kendaraan yang berlalu lalang. Matahari yang menyinsing bersinar tepat di atas kepala membuat raut wajah pengunjung dan penjual di pinggir kota mengerutkan hidungnya. Begitupun denganku yang mulai kelelahan berkeliling mencari objek foto di sekitaran Kota Tua hampir kehilangan nafas karna menghirup udara kotor dari pagi hari hingga terik matahari.
Di sudut kota aku melihat seorang bapak-bapak yang umurnya lebih dari setengah abad duduk termenung dibawah pekarangan bunga dipinggir trotoar. Di sampingnya terdapat beberapa peralatan seni lukis seperti kuas, kanvas, pensil, dan cat warna. Aku telah mengira bahwa pria itu adalah seorang pelukis jalanan. Gerak geriknya yang polos dengan keringat di dahi menggelitik pikiranku untuk menyapanya.
“Selamat siang, pak!” Tanyaku sambil duduk disampingnya.
“Siang!” Jawabnya sambil tersenyum.
“Cuaca panas sekali ya, pak!”
“Iya, udah hampir dua bulan belum hujan!”
Merasa ramah, aku pun mulai melanjutkan bincang-bincang dengan bapak itu. Sebelumnya aku menanyakan namanya dan asal tempat tinggalnya hingga akhirnya  obrolanku dangan bapak itu pun semakin intim. Rupanya bapak itu bernama Suyanto asal Brebes dan merantau ke Jakarta mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dengan menjadi seorang pelukis jalanan.
Perjuangan besar bapak Suyanto untuk sampai ke Jakarta cukup mengharukan. Dia hanyalah orang sederhana yang serba berkecukupan berangkat dari Brebes ke Jakarta hanya berbekal sebungkus nasi uduk dan dua pop mie gelas. Mendengar cerita itu, aku pun langsung teringat dengan kisah diriku untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas di kota Metropolitan.
Dulu, ketika ingin berangkat dari kampung halaman menuju kota Metropolitan, diriku hanya berbekal sebotol air mineral dan sebungkus roti coklat sobek dan tak lupa doa kedua orang tuaku. Mengingat kembali kisah itu aku pun tersenyum dan tak heran bahwa masih banyak orang yang kurang dariku. Pikiranku mulai berkhayal dan melayang entah kemana.
Namun, ketika berkhayal, diriku dikejutkan oleh seorang ibu membawa anak kecil menyapa pak Suyanto. Rupanya ibu itu adalah pelanggan yang ingin dirinya dilukis.
“Pak, saya mau dilukis sama persis dengan difoto ini ya!” suruh pelanggan itu sambil menyodorkan foto dari dalam dompetnya. “Kira-kira harganya berapa ya, pak?” tanya pelanggan itu kembali.
“Ibu mau ukuran berapa? Kalo 8R harganya dua ratus ribu, tapi kalo 10R harganya tiga ratus ribu!” jawab pak Suyanto.
“Saya pesan 10R saja pak! Itu kapan bisa di ambil?”
“Karna hari hampir sore, jadi lukisannya besok baru selesai, bu!”
“Ya sudah, besok siang saya kesini untuk mengambil lukisan!” tegasnya sambil tersenyum.
Beberapa menit setelah pelanggan itu minggat dari hadapannya, pak Suyanto pun mulai mengeluarkan kanvas sambil memasangnya dipenyangga. Kemudian, ia mengeluarkan kuas, dan beberapa cat warna dari dalam tas kecilnya. Sebelum mulai mewarnai, pak Suyanto menggoreskan pensil ke permukaan kanvas. Tak dikira, tangannya yang sudah keriput dipenuhi dengan urat yang timbul di kulit hitamnya dengan leluasa menari lemah lembut menguasai permukaan kanvas yang sangat berarti baginya.
Aku yang masih berada di samping pak Suyanto terkagum melihat gerak-gerik tangannya yang cepat meniru sketsa wajah pelanggan yang ada difoto. Karna aku tidak ingin pak Suyanto terganggu, maka aku hanya berdiam diri menonton aksinya melukis seseorang. Tak sampai lima menit membuat pola sketsa wajah dengan pensil, pak Suyanto mulai mengecat.
“Di sinilah kita harus berhati-hati dalam membuat karya seni, sedikit saja salah memberikan warna, maka lukisan itu akan mati!” kata pak Suyanto kepadaku.
“Tapi, aku lihat sepertinya bapak sudah leluasa dan saya yakin bapak tidak akan mengalami kesalahan dalam melukis!” sahutku.
Mendengar itu pak Suyanto tersenyum sambil menggoreskan cat warna ke permukaan kanvas. Sungguh, caranya mencampur cat hingga menggoreskan kuas sangat lembut dan halus. Perlahan secara pasti belum ada kesalahan yang dialaminya saat mengecat. Karya lukisannya yang hanya berpatok pada sebatang kuas membuat pak Suyanto terlihat seperti seniman yang handal. Melihat hal itu membuatku tak mau ketinggalan momen berharga, aku pun mulai memotret pak Suyanto sedang melukis.
Namun sayang, ketika aku ingin memotret ulang wajah pak Suyanto secara dekat, kami dikejutkan oleh teriakan para penjual di sekitaran Kota Tua Jakarta.
“Satpol PP! Siap-siap beresin barang!” tegas beberapa orang penjual sambil membereskan barang jualannya.
Aku melihat para penjual di kanan dan kiriku mulai ricuh. Ada yang membereskan barang jualan, berlari ketakutan, dan ada yang teriak-teriak. Satpol PP lengkap dengan mobil patrolinya dengan sigap menyita barang jualan yang tak habis dibawa pulang oleh penjual. Tak sedikit penjual yang meniggalkan barang jualan dan memilih kabur melarikan diri ketimbang diamankan oleh satpol PP. Sementara di depanku ada pak Suyanto yang terburu-buru membereskan barangnya kedalam tas.
“Sini aku bantu, pak!” pintaku sambil memasukkan cat kedalam tas mungilnya.
“Terima kasih, nak!” jawabnya singkat.
Tak sempat bersalaman, pak Suyanto pun bergegas pergi sambil berlari membawa lukisannya yang belum selesai dicat. Aku ingin memanggil pak Suyanto dan mengatakan banyak terima kasih kepadanya. Tapi pak Suyanto telah berlari jauh ke seberang jalan. Sesaat pak Suyanto hilang dari pandanganku, aku melihat diaspal ada sebatang kuas yang mana di ujungnya masih ada sisa cat yang belum kering. Aku yakin itu adalah kuas pak Suyanto yang jatuh dari tasnya.
Karna terburu-buru, pak Suyanto tak sadar kuasnya jatuh dari tas mungilnya. Aku pun mengambil kuas itu dan ingin mengembalikannya. Tapi, tak mungkin aku mengembalikan kuas pak Suyanto karna ia sudah berlari jauh. Tak mungkin juga aku meletakkan kuas di tempat mangkal pak Suyanto sambil menuliskan sepucuk surat untuknya, karna aku yakin pasti diambil orang. Karena tidak ada pilihan lain, maka akupun menyimpan kuas itu.
Tak terasa jam menunjukkan pukul 16.00 sore. Matahari sudah mulai turun ke langit barat. Bekalku dari Kota Tua adalah sebuah pelajaran dari seorang pelukis jalanan beserta sebatang kuas milik pak Suyanto. Cukup dengan hati yang penuh haru dan pelajaran berharga yang kudapatkan dari pak Suyanto membuatku ingin menjadi seorang seniman. Meskipun aku bukan menjadi seniman lukis, tetapi menjadi seniman yang serba bisa di mana modernitas  telah menguasai dunia dengan berbagai media digital dan teknologi canggih lainnya.
“Wahai pelukis! Meskipun setiap hari berada di wilayah tekanan keamanan, aku sangat bangga dengan karyamu!” Sahutku dalam hati sambil memasukkan kamera dalam tas dan pergi dari Kota Tua itu.