Kampus Ku Untuk Indonesia Jaya

Kampus Ku Untuk Indonesia Jaya

Minggu, 29 November 2015

CERPEN: SEBATANG KUAS

SEBATANG KUAS
Oleh: Abdi Sanjaya
NIM: 004135602653083



Suasana Kota Tua Jakarta yang penuh dengan aroma polusi mulai membungkus langit kota yang hitam oleh asap-asap pabrik dan kendaraan yang berlalu lalang. Matahari yang menyinsing bersinar tepat di atas kepala membuat raut wajah pengunjung dan penjual di pinggir kota mengerutkan hidungnya. Begitupun denganku yang mulai kelelahan berkeliling mencari objek foto di sekitaran Kota Tua hampir kehilangan nafas karna menghirup udara kotor dari pagi hari hingga terik matahari.
Di sudut kota aku melihat seorang bapak-bapak yang umurnya lebih dari setengah abad duduk termenung dibawah pekarangan bunga dipinggir trotoar. Di sampingnya terdapat beberapa peralatan seni lukis seperti kuas, kanvas, pensil, dan cat warna. Aku telah mengira bahwa pria itu adalah seorang pelukis jalanan. Gerak geriknya yang polos dengan keringat di dahi menggelitik pikiranku untuk menyapanya.
“Selamat siang, pak!” Tanyaku sambil duduk disampingnya.
“Siang!” Jawabnya sambil tersenyum.
“Cuaca panas sekali ya, pak!”
“Iya, udah hampir dua bulan belum hujan!”
Merasa ramah, aku pun mulai melanjutkan bincang-bincang dengan bapak itu. Sebelumnya aku menanyakan namanya dan asal tempat tinggalnya hingga akhirnya  obrolanku dangan bapak itu pun semakin intim. Rupanya bapak itu bernama Suyanto asal Brebes dan merantau ke Jakarta mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dengan menjadi seorang pelukis jalanan.
Perjuangan besar bapak Suyanto untuk sampai ke Jakarta cukup mengharukan. Dia hanyalah orang sederhana yang serba berkecukupan berangkat dari Brebes ke Jakarta hanya berbekal sebungkus nasi uduk dan dua pop mie gelas. Mendengar cerita itu, aku pun langsung teringat dengan kisah diriku untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas di kota Metropolitan.
Dulu, ketika ingin berangkat dari kampung halaman menuju kota Metropolitan, diriku hanya berbekal sebotol air mineral dan sebungkus roti coklat sobek dan tak lupa doa kedua orang tuaku. Mengingat kembali kisah itu aku pun tersenyum dan tak heran bahwa masih banyak orang yang kurang dariku. Pikiranku mulai berkhayal dan melayang entah kemana.
Namun, ketika berkhayal, diriku dikejutkan oleh seorang ibu membawa anak kecil menyapa pak Suyanto. Rupanya ibu itu adalah pelanggan yang ingin dirinya dilukis.
“Pak, saya mau dilukis sama persis dengan difoto ini ya!” suruh pelanggan itu sambil menyodorkan foto dari dalam dompetnya. “Kira-kira harganya berapa ya, pak?” tanya pelanggan itu kembali.
“Ibu mau ukuran berapa? Kalo 8R harganya dua ratus ribu, tapi kalo 10R harganya tiga ratus ribu!” jawab pak Suyanto.
“Saya pesan 10R saja pak! Itu kapan bisa di ambil?”
“Karna hari hampir sore, jadi lukisannya besok baru selesai, bu!”
“Ya sudah, besok siang saya kesini untuk mengambil lukisan!” tegasnya sambil tersenyum.
Beberapa menit setelah pelanggan itu minggat dari hadapannya, pak Suyanto pun mulai mengeluarkan kanvas sambil memasangnya dipenyangga. Kemudian, ia mengeluarkan kuas, dan beberapa cat warna dari dalam tas kecilnya. Sebelum mulai mewarnai, pak Suyanto menggoreskan pensil ke permukaan kanvas. Tak dikira, tangannya yang sudah keriput dipenuhi dengan urat yang timbul di kulit hitamnya dengan leluasa menari lemah lembut menguasai permukaan kanvas yang sangat berarti baginya.
Aku yang masih berada di samping pak Suyanto terkagum melihat gerak-gerik tangannya yang cepat meniru sketsa wajah pelanggan yang ada difoto. Karna aku tidak ingin pak Suyanto terganggu, maka aku hanya berdiam diri menonton aksinya melukis seseorang. Tak sampai lima menit membuat pola sketsa wajah dengan pensil, pak Suyanto mulai mengecat.
“Di sinilah kita harus berhati-hati dalam membuat karya seni, sedikit saja salah memberikan warna, maka lukisan itu akan mati!” kata pak Suyanto kepadaku.
“Tapi, aku lihat sepertinya bapak sudah leluasa dan saya yakin bapak tidak akan mengalami kesalahan dalam melukis!” sahutku.
Mendengar itu pak Suyanto tersenyum sambil menggoreskan cat warna ke permukaan kanvas. Sungguh, caranya mencampur cat hingga menggoreskan kuas sangat lembut dan halus. Perlahan secara pasti belum ada kesalahan yang dialaminya saat mengecat. Karya lukisannya yang hanya berpatok pada sebatang kuas membuat pak Suyanto terlihat seperti seniman yang handal. Melihat hal itu membuatku tak mau ketinggalan momen berharga, aku pun mulai memotret pak Suyanto sedang melukis.
Namun sayang, ketika aku ingin memotret ulang wajah pak Suyanto secara dekat, kami dikejutkan oleh teriakan para penjual di sekitaran Kota Tua Jakarta.
“Satpol PP! Siap-siap beresin barang!” tegas beberapa orang penjual sambil membereskan barang jualannya.
Aku melihat para penjual di kanan dan kiriku mulai ricuh. Ada yang membereskan barang jualan, berlari ketakutan, dan ada yang teriak-teriak. Satpol PP lengkap dengan mobil patrolinya dengan sigap menyita barang jualan yang tak habis dibawa pulang oleh penjual. Tak sedikit penjual yang meniggalkan barang jualan dan memilih kabur melarikan diri ketimbang diamankan oleh satpol PP. Sementara di depanku ada pak Suyanto yang terburu-buru membereskan barangnya kedalam tas.
“Sini aku bantu, pak!” pintaku sambil memasukkan cat kedalam tas mungilnya.
“Terima kasih, nak!” jawabnya singkat.
Tak sempat bersalaman, pak Suyanto pun bergegas pergi sambil berlari membawa lukisannya yang belum selesai dicat. Aku ingin memanggil pak Suyanto dan mengatakan banyak terima kasih kepadanya. Tapi pak Suyanto telah berlari jauh ke seberang jalan. Sesaat pak Suyanto hilang dari pandanganku, aku melihat diaspal ada sebatang kuas yang mana di ujungnya masih ada sisa cat yang belum kering. Aku yakin itu adalah kuas pak Suyanto yang jatuh dari tasnya.
Karna terburu-buru, pak Suyanto tak sadar kuasnya jatuh dari tas mungilnya. Aku pun mengambil kuas itu dan ingin mengembalikannya. Tapi, tak mungkin aku mengembalikan kuas pak Suyanto karna ia sudah berlari jauh. Tak mungkin juga aku meletakkan kuas di tempat mangkal pak Suyanto sambil menuliskan sepucuk surat untuknya, karna aku yakin pasti diambil orang. Karena tidak ada pilihan lain, maka akupun menyimpan kuas itu.
Tak terasa jam menunjukkan pukul 16.00 sore. Matahari sudah mulai turun ke langit barat. Bekalku dari Kota Tua adalah sebuah pelajaran dari seorang pelukis jalanan beserta sebatang kuas milik pak Suyanto. Cukup dengan hati yang penuh haru dan pelajaran berharga yang kudapatkan dari pak Suyanto membuatku ingin menjadi seorang seniman. Meskipun aku bukan menjadi seniman lukis, tetapi menjadi seniman yang serba bisa di mana modernitas  telah menguasai dunia dengan berbagai media digital dan teknologi canggih lainnya.
“Wahai pelukis! Meskipun setiap hari berada di wilayah tekanan keamanan, aku sangat bangga dengan karyamu!” Sahutku dalam hati sambil memasukkan kamera dalam tas dan pergi dari Kota Tua itu.

1 komentar:

  1. Wynn Resort and Casino - Wooricasinos
    Wynn Resort and bet365 korea Casino. Location: 7° 로투스 바카라 3.7 km²; 3.9 mi²; 3.6 프라하 사이트 mi²; 5.0 해외 안전 놀이터 star rating. 토토 사이트 홍보 게시판 Overall experience.

    BalasHapus