Kampus Ku Untuk Indonesia Jaya

Kampus Ku Untuk Indonesia Jaya

Minggu, 29 November 2015

MATERI: ETIKA & HUKUM MEDIA

Faculty of Green Economy & Digital Communication
Digital Communication Study Program / 2015-2016

NAMA                        : ABDI SANJAYA
NIM                            : 004135602653083
MAKUL                     : Etika dan Hukum Media
HARI/TANGGAL     : Selasa, 13 Oktober 2015

SOAL
1      Mengapa pertimbangan etika dan hukum diperlukan atau bahkan dapat dikatakan sebagai sebuah kemestian berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi media?
Jelaskan secara komprehensif dan berikan contoh kasusnya!
JAWABAN:
Merujuk pada konsep-konsep etika dalam media, khususnya di dunia pers, setiap kegiatan yang dilakukan baik produksi, distribusi, maupun konsumsi media memerlukan pertimbangan etik. Paling tidak terdapat dua pertimbangan etik, yaitu pertimbangan etik yang mengatur perilaku profesi jurnalis dan pertimbangan etik yang mengatur perilaku perusahaan media secara umum yang terbentuk dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang penyiaran (Amalo, 2015).
Pertimbangan-pertimbangan etika jurnalistik dalam dunia pers secara umum, yaitu menyampaikan informasi penting kepada public secara akurat, jujur, dan tidak berpihak. Dari ketiga regulasi tersebut, kode etik merupakan ujung tombak yang berperan penting dalam hal praktek jurnalistik. Selain itu, sebagai institusi social yang mencakup banyak kepentingan (masyarakat, pemilik media, wartawan, logika pasar, institusi politik, social, ekonomi dan budaya) dalam kegiatan media massa juga sangat dibutuhkan Perundang-Undangan dan tata aturan etika. Hal tersebut berperan penting dan bertujuan untuk melindungi masyarakat serta melindungi profesi wartawan dan institusi media itu sendiri.
Selain itu, ada beberapa pertimbangan etika dan hukum yang diperlukan dan diterapkan dalam kerja di media. Pertama media mempunyai kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap public. Realitas menunjukkan bahwa media rentan memanipulasi public. Dengan demikian, etika dan hukum komunikasi dibutuhkan untuk melindungi publik yang lemah dari manipulasi media (Haryatmoko, 2007).
Kedua, etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggungjawab media. Salah satunya adalah mengingatkan tendensi korporatis media besar yang selalu memonopoli kritik, sementara kerja-kerja mereka tersebut tidak ingin dikritik dengan argument kebebasan pers. Ketiga, etika komunikasi ingin menghindari dampak negative dari logika instrumental media yang bertujuan untuk mempertahankan eksistensi media di depan public (Haryatmoko, 2007).
Etika sendiri menjadi pegangan utama bagi para pekerja media di luar regulasi dan kebijakan pemerintahan yang bersifat formal. Etikalah yang memandu komunikator mengenai bagaimana seharusnya mereka berperilaku dalam berbagai situasi, di mana kegiatan mereka mungkin mempunyai dampak negative terhadap orang lain
Kemudian, berbicara soal etika tidak hanya menyangkut dunia jurnalistik saja, tetapi juga dalam dunia penyiaran kode etik perlu dibutuhkan. Hal ini berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang didalamnya terdapat pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran. Etika penyiaran memang sudah disusun sebagai landasan moralitas dalam program siaran Lembaga Penyiaran (KPI, 2015).
Namun, sampai saat ini praktik etika penyiaran masih belum sempurna. Pelanggaran kode etik terus saja terjadi dan hanya mendapat sanksi berupa teguran. Di Indonesia sendiri, ada beberapa contoh kasus yang melanggar etika dalam bermedia, khususnya media penyiaran. Salah satu contoh yang belum lama terjadi adalah prosesi pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita yang pertama kali dipelopori oleh Trans TV pada 16 dan 17 Oktober 2014 kemudian RCTI mengikuti untuk bagian resepsi.
Sebelum prosesi dilaksanakan, stasiun TV tersebut telah memberikan porsi lebih untuk menayangkan pra acara pernikahan Raffi dan Gigi. Namun parahnya, pada Oktober 2014 Trans TV menyiarkan prosesi secara live dengan durasi sekitar 17 jam (Khumaini, 2014). Atas perbuatan tersebut, KPI melayangkan surat teguran tertulis di karenakan pemakaian durasi secara tidak wajar dan tidak memberikan manfaat kepada public sebagai pemilik frekuensi. KPI Pusat juga memutuskan bahwa tindakan penayangan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia tahun 2012 pasal 11 ayat (1) (Khumaini, 2014).
Oleh karena itu, dari contoh kasus diatas, dalam menegakkan etika media penyiaran di Indonesia tentunya diperlukan regulasi of fairness untuk mengontrol dan memutuskan kebijakan media penyiaran agar tercipta dunia penyiaran yang sehat, seimbang, dan dinamis antara pemangku kepentingan yakni KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), pengelola industri penyiaran, pemerintah, dan public yang mengkonsumsi media dan harus saling berelasi untuk menyamakan kepentingan dan mengambil keputusan yang tepat mengenai etika-etika dalam media penyiaran.

SOAL
2      Bagaimana pandangan saudara mengenai ruang public dan keterkaitannya dengan demokrasi yang dianut oleh sebuah negara?
Penjelasan dilengkapi contoh ruang public di Indonesia, dikaitkan juga dengan kondisi civil society Indonesia!
JAWABAN:
Ruang public ditujukan sebagai mediasi antara masyarakat dan negara dengan memegang tanggungjawab negara pada masyarakat melalui publisitas. Tanggungjawab negara mensyaratkan bahwa informasi-informasi mengenai fungsi negara di buat agar bisa diakses sehingga aktifitas-aktifitas negara menjadi subyek untuk dikritisi dan mendorong opini public.
Di dalam upaya untuk mengembangkan peran civil society, maka di sini diperlukan adanya system demokrasi dalam suatu negara. Namun, sangat sulit bagi sebuah negara yang memiliki tingkat pluralitas tinggi untuk menerapkan system demokrasi. Contohnya seperti di Indonesia yang memiliki pluralitas yang cukup tinggi, sehingga masih sulit untuk menerapkan demokrasi.
Demokrasi sendiri tidak cukup hanya dibangun dengan terpilihnya pemimpin sipil lewat pemilihan umum yang jujur dan adil. Demokrasi membutuhkan kepemimpinan politik yang mampu membangun fondasi bagi tegaknya supremasi hukum, terjaminnya hak-hak asasi warga negara, pers yang bebas, dan system politik yang seimbang diantara lembaga-lembaga negara (Judittya, 2015).
Disisi lain, demokrasi juga akan berjalan apabila masyarakatnya ikut mendukung dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam kondisi Indonesia saat ini, kepemimpinan politik bangsa masih kelihatan lemah. Masyarakatnya juga baru belajar berdemokrasi dan menganggap semua persoalan seakan-akan bisa diselesaikan lewat unjuk rasa.
Dengan kata lain, good governance hanya bisa tercipta melalui pemerintahan yang kuat dan terkonsolidasinya masyarakat madani (civil society) yang memposisikan dirinya sebagai kelompok penyeimbang negara (Sutrisnowati, 2013). Persoalan sengit yang dihadapi oleh bangsa ini adalah penataan kembali system kelembagaan politik, public, dan social kemasyarakatan. Selain itu juga, masyarakat demokratis tidak mungkin tanpa peradaban masyarakat madani (civil Society).
Civil society dan demokrasi ibarat “the two side at the same coin”. Artinya jika civil society kuat, maka demokrasi akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Sebaliknya, jika demokrasi tumbuh dan berkembang dengan baik, maka civil society akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Sebab itulah para pakar mengatakan civil society merupakan rumah tempat bersemayamnya demokrasi dan saling memiliki keterkaitan dan hubungan antara satu dengan yang lainnya (Sutrisnowati, 2013).
Menguatnya civil society saat ini sebenarnya merupakan strategi yang paling ampuh bagi berkembangnya demokrasi untuk mencegah hegemoni kekuasaan yang melumpuhkan daya tampil individu di masyarakat. Di Indonesia sendiri juga banyak dijumpai individu, kelompok masyarakat, elite politik, dan elite penguasa yang berbicara atau berbuat atas nama demokrasi, walaupun secara esensial.
Kemudian, berbicara mengenai berkembangnya masyarakat madani (civil society) di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengecangan kebebasan berpendapat, berserikat, dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di muka umum, lalu dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non-pemerintah yang mepunyai kekuatan dan bagian dari control social.
Sampai pada masa Orde Baru pun, tekanan demokrasi dan penindasan HAM tersebut masih luas dan bahkan menjadi tontonan gratis yang bisa dinikmati oleh siapa saja untuk segala usia. Misalnya pada contoh kasus pemberedelan lembaga pers seperti MAJALAH TEMPO (Haryanto, 2013). Pembredelan Majalah Tempo selama 19 tahun tersebut adalah kisah sejarah. Namun, bagaimana Tempo terus berjalan setelah hampir beberapa dekade tersebut harus tercatat dalam sebuah sejarah.
Bagaimanapun, pembredelan bukan lagi suatu tindakan popular oleh penguasa ketika arus informasi mengalir deras, namun ketegaran untuk menjadi pemberi informasi yang harus benar. Contoh kasus 19 tahun pembredelan Majalah Tempo tersebut adalah pelajaran berharga kepada rekan-rekan pengelola industry media sampai saat ini (Haryanto, 2013).
Selain contoh kasus diatas, ada lagi kasus yang sering terjadi di Indonesia. Misalnya banyak terjadi pengambilan hak-hak tanah rakyat oleh penguasa dengan alasan pembangunan, juga merupakan bagian dari penyelewengan dan penindasan Hak Asasi Manusia (HAM), karena hak tanah atas nama yang secara sah memang dimiliki oleh rakyat. Dipaksa dan diambil alih oleh penguasa haknya karena alasan pembangunan sebenarnya masih bersifat semu. Hal ini semua merupakan indikasi bahwa Indonesia masih belum menyadari pentingnya toleransi dan semangat pluralisme.
Melihat fenomena itu semua, maka secara esensial Indonesia memang mebutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyrakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mempu menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, maka diperlukan pengambangan masyarakat madani (civil society) dengan menerapkan strategi pemberdayaan dan pembinaan agar mencapai hasil yang optimal.

Referensi:
Amalo, G. (2015, January 8). Pertimbangan dalam Soal Etika Media. Retrieved from Kedai Tjerita: Roeang Oelah Pikir & Boedi Pekerti: http://gentryamalo.com/2015/pertimbangan-dalam-soal-etika-media/
Haryanto, I. (2013, Juny 21). 19 Tahun Pembredelan Majalah Tempo. Retrieved from Tempo.co: http://www.tempo.co/read/kolom/2013/06/21/755/19-tahun-pembredelan-majalah-tempo
Haryatmoko. (2007). Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius.
Judittya, R. (2015, Juny 25). Media Baru & Politik. Retrieved from Institut Komunikasi Indonesia baru: http://komunikasi.us/index.php/course/18-teknologi-dan-media-baru/5060-potilik-dan-media-baru
Khumaini, A. (2014, October 17). Siarkan nikah Raffi-Gigi dua hari, Trans TV resmi ditegur KPI. Retrieved from Merdeka.com: http://www.merdeka.com/peristiwa/siarkan-nikah-raffi-gigi-dua-hari-trans-tv-resmi-ditegur-kpi.html
KPI. (2015, October 10). Komisi Penyiaran Indonesia. Retrieved from UNDANG-UNDANG PENYIARAN: http://www.kpi.go.id/download/regulasi/UU%20No.%2032%20Tahun%202002%20tentang%20%20Penyiaran.pdf
Sutrisnowati, V. F. (2013). CIVIL SOCIETY, KONSEP UMMAH DAN MASYARAKAT MADANI . Portal Garuda, 13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar