Kampus Ku Untuk Indonesia Jaya

Kampus Ku Untuk Indonesia Jaya

Kamis, 26 Mei 2016

CONSUMER BEHAVIOR

Hierarchies Of Effect

Which come first: knowing, feeling, or doing? It turns out that element may lead things off depending on the situation. Attitude researches developed the concept of a hierarchy of effect to explain the relative impact of the thre components. Each hierarchy specifies that a fixed sequence of steps occurs en route to an attitude.

The standar learning hierarchy
Think-feed-do: the standard learning hierarchy assumes that a person approaches a product decision as a problem solving process. First, she forms beliefs about a product as she sccumulates knowledge (beliefs) regarding relevant attributes. Next, she evaluates these beliefs and form a feeling about the product (affect). Then she engages in a relevant behavior, such as when she buys a product that offers the attributes she feels good about. This hierarchy assumes that a consumer is highly involved when she makes a purchase decision. She’s motivated to seek out a lot of information, carefully weigh alternatives and come to a thoughtful decision.

The low involvement hierarchy
Do-feel-think: the low imvolvement hierarchy of effects assumes that the consumer initially doesn’t have a strong preference for one brand over another, instead, she acts on the basis of limited knowledge and forms an evaluation only after she has bought the product. The attitude is likely to come about through behavioral  learning, as good or bad experiences reinforce her initial choice.
The possibility thet consumers simply don’t care enough about decisions to carefully assemble a set of product beliefs and the evaluate them is important. This implies that all of our concern about influencing beliefs and carefully communicating information about product attributes may often be wasted. Consumers aren’t necessarily going to pay attention anyway; they are more likely to respond to simple stimulus response connections when they make purchase decisions. For example, a consumer who chooses among paper towels might remember that “ bounty is the quicker picker upper” rather than systematically comparing all the brands on the shelf. Get a life!

The experiential hierarchy
Feel-think-do: according to the experiential hierarchy of affects, we act on the basis of our emotional reactions. The experiential  perspective highlights the idea that intangible product attributes, such as package design, advertising, brand names, and the nature of the setting in which the experience occurs, can help shape our attitudes toward a brand. We may base these reactions on hedonic  motivations, such as whether using the product is exciting (like the Nitendo  Wii).
Even the emotions the communicator expresses have an impact. A smile is infectious, in a process we term emotional contagion, messages that happy people deliver enhance our attitude toward the product. Numerous studies demonstrate that the mood a person is in when she sees or hears a marketing message influences how she will process the ad, the likelihood that she will remember the information she sees, and how she will feel about the advertised item and related products in the future.

Minggu, 15 Mei 2016

TUGAS KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

TUGAS: KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Oleh:
Abdi Sanjaya (004135602653083)

Apa arti komunikasi antarbudaya bagi Anda?
Komunikasi merupakan segi kehidupan manusia dalam melakukan interaksi dengan orang lain melalui tindak komunikasi yang mereka lakukan. Komunikasi merupakan sarana yang paling vital, dengan kata lain manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup tanpa komunikasi dengan makhluk hidup lainnya. Seorang individu akan mengetahui siapa dirinya, karna mereka melakukan interaksi dengan individu lainnya. Dalam perkembangannya, komunikasi yang terjadi antara satu individu dengan individu yang lain belum tentu sama. Ketidaksamaan ini disebabkan karena latar belakang budaya yang berbeda. Budaya membawa dampak yang sangat besar dalam proses komunikasi. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi komunikasi antarbudaya.
Berbicara mengenai komunikasi antarbudaya, maka tidak lepas dari komunikasi orang-orang yang berasal dari budaya berbeda, khususnya seperti di Indonesia yang memiliki keberagaman budaya. Oleh karena itu, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi antara dua orang atau lebih yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Latar belakang budaya ini merupakan faktor penting dalam komunikasi antarbudaya dan akan mempengaruhi produksi pesan, tingkat umpan balik, dan efek yang mungkin terjadi.
Kemudian, komunikasi antarbudaya juga bisa diartikan sebagai komunikasi antara komunikator dengan komunikan yang sama-sama memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dalam komunikasi antarbudaya terdapat komunikasi verbal dan nonverbal. Yang mana komunikasi verbal adalah suatu pesan yang diucapkan dalam bentuk bahasa. Keberagaman budaya yang dimiliki oleh setiap daerah di Indonesia menyebabkan banyaknya perbedaan bahasa, dan membuat setiap daerah memiliki bahasa daerahnya sendiri-sendiri. Begitupun dengan komunikasi nonverbal. Setiap daerah pasti berbeda dalam memaknai simbol-simbol, baik itu mimik muka, gerak tubuh, dan lain sebagainya yang tertuang saat berkomunikasi, khususnya berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya.

Apa menurut pendapat Anda keuntungan untuk mengembangkan komunikasi antarbudaya?
Komunikasi antarbudaya merupakan sebuah kajian yang sangat relevan dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk. Ciri yang menandai kemajemukan tersebut adalah adanya keragaman budaya yang tercermin dari perbedaan adat istiadat, bahasa, suku bangsa, keyakinan agama, dan lain sebagainya. Sebagai seorang individu yang tinggal di Indonesia khususnya, dengan keberagaman budaya, mengembangkan komunikasi antarbudaya merupakan peranan yang sangat penting dalam kehidupan.
Begitupun halnya, mengembangkan komunikasi antarbudaya memiliki banyak keuntungan. Dengan belajar komunikasi antarbudaya kita dapat memahami budaya masyarakat lain. Hal tersebut merupakan bagian yang sangat penting dalam membangun komunikasi yang efektif. Artinya, pemahaman dan penerimaan yang kita lakukan terhadap budaya yang dimiliki oleh masyarakat lain yang memiliki budaya yang berbeda manjadi satu dasar dalam membangun komunikasi yang efektif. Jika komunikasi antarbudaya tidak dikembangkan (seperti masyarakat Indonesia yang majemuk), bisa saja terjadi suatu persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia.
Salah satu persoalan besar tersebut, misalnya konflik antarkelompok/antaretnis maupun antaragama yang intensitasnya cenderung meningkat. Ketika pertikaian antarkelompok/ antaretnis, dan antaragama sudah mulai mereda, kemudian muncul kembali benih-benih permusuhan antarkelompok yang baru. Misalnya seperti Pemilihan Umum Kepala Daerah yang di maksudkan sebagai sarana memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin  mereka secara langsung, ternyata tidak lepas dari konflik. Ketidaksenangan antarkelompok juga dilakukan oleh pelajar maupun mahasiswa. Mereka melakukan tawuran massal untuk menyatakan kebencian satu sama lain. Di negri yang sudah merdeka inipun juga masih diwarnai dengan perang tradisional antar kampung dan antarsuku seperti  yang pernah terjadi di Jakarta dan di Papua.
Mengapa masih ada konflik dan kekerasan? Sebab, dalam perspektif komunikasi antarbudaya, selama ini kita belum atau tidak pernah menjalin interaksi antarbudaya secara efektif. Oleh karena itulah, komunikasi antarbudaya perlu dikembangkan, diterapkan, dan dipahami untuk terciptanya keakraban antara pihak-pihak yang berinteraksi, dan kedua belah pihak juga bisa saling menghargai perbedaan-perbedaan latar belakang budaya. Kita dapat mengerti dan memahami tentang peranan komunikasi antarbudaya ini ketika kita belajar komunikasi antarbudaya. Karena pada saat kita belajar tentang komunikasi antarbudaya, kita dapat mengetahui fungsi komunikasi antarbudaya tersebut.
Dengan mengembangkan komunikasi antarbudaya, kita sebagai makhluk sosial yang bergaul dan berinteraksi dapat memahami budaya orang lain dan dapat membantu hidup kita ketika berinteraksi dan bersosialisasi dengan anggota masyarakat lainnya. Selain itu, keuntungan mengembangkan komunikasi antarbudaya juga kita dapat menyatakan identitas sosial diri kita. Identitas sosial tersebut dinyatakan melalui tindakan berbahasa baik secara verbal maupun nonverbal. Dengan bahasa itulah orang akan tahu identitas diri dari seorang individu.
Kemudian, dengan mengembangkan dan belajar komunikasi antarbudaya juga dapat menambah pengetahuan untuk memahami budaya lain. Misalnya seorang komunikator akan bertambah pengetahuannya tentang budaya lain dari komunikan yang berasal dari latar belakang yang berbeda saat melakukan tindak komunikasi. Begitupun sebaliknya, seorang komunikan akan bertambah pengetahuannya tentang budaya lain dari komunikator.
Selanjutnya, keuntungan lain dalam mengembangkan komunikasi antarbudaya adalah untuk menyatakan integrasi sosial. Artinya menerima kesatuan dan persatuan antarpribadi maupun antarkelompok, namun tetap mengakui perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur. Dalam komunikasi antarbudaya, karena setiap tindak komunikasi yang dilakukan antara komunikator dan komunikan dari latar belakang yang berbeda, maka selalu melibatkan perbedaan budaya di antara dua partisipan komunikasi tersebut.
Oleh karena adanya keterlibatan latar belakang budaya yang berbeda inilah, maka integrasi sosial merupakan tujuan utama komunikasi. Maka, dari penjelasan diatas tersebut, komunikasi antarbudaya sangat penting diterapkan untuk tujuan komunikasi yang efektif antara komunikator dan komunikan, khususnya di ruang lingkup Indonesia yang memiliki keberagaman budaya agar tidak terjadi perselisihan antarkelompok, etnis, ras, suku, maupun agama.

Apakah komunikasi antarbudaya bisa dalam beberapa hal? Membahayakan? Jelaskan!
Komunikasi antarbudaya tidak hanya sebatas penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan yang memiliki budaya berbeda, tetapi juga bisa dalam beberapa hal terkait komunikasi verbal dan nonverbal dalam komunikasi antarbudaya. Kedua bentuk komunikasi ini mempunyai peranan yang sama dalam komunikasi antarbudaya. Artinya, komunikasi verbal banyak digunakan dalam komunikasi antarbudaya, begitu juga komunikasi nonverbal. Banyak simbol-simbol dan isyarat nonverbal lainnya yang digunakan dalam komunikasi antarbudaya.
Seperti yang di katakana Singer, kebudayaan didefinisikan sebagai sebuah pola pembelajaran, persepsi hubungan dalam kelompok yang meliputi komunikasi verbal dan nonverbal, sikap, nilai-nilai, sistem kepercayaan, sistem ketidakpercayaan, dan tingkah laku  (Darmastuti, 2013). Hal tersebut juga berlaku dalam komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi verbal, nonverbal, nilai-nilai, sistem kepercayaan dan tingkah laku. Hanya saja, tidak jarang komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal ini menimbulkan banyak masalah dalam komunikasi antarbudaya. Hal ini disebabkan karna perbedaan persepsi dan perbedaan makna yang muncul dalam komunikasi verbal maupun komunikasi nonverbal.
Adapun hal terkait dengan komunikasi verbal dan sangat mempengaruhi dalam komunikasi antarbudaya adalah dialek, logat, aksen maupun bahasa gaul yang dimiliki oleh masyarakat kita. Biasanya, orang-orang yang punya latar belakang sosial budaya yang berbeda lazimnya akan berbicara dengan cara yang berbeda. Perbedaan logat, aksen, dialek, intonasi, kecepatan, volume merupakan perbedaan yang seringkali muncul dalam komunikasi antarbudaya.
Selain itu, komunikasi verbal lainnya yang sering digunakan dalam komunikasi antarbudaya adalah nama. Nama digunakan sebagai symbol dalam komunikasi verbal. Menurut Deddy Mulyana, nama diri sendiri adalah symbol pertama dan utama bagi seseorang (Darmastuti, 2013). Dalam masyarakat, nama dapat digunakan untuk melambangkan status yang dikehendaki oleh orang tua. Nama pribadi adalah unsur penting identitas seseorang dalam masyarakat, karena interaksi dimulai dengan nama dan hanya kemudian diikuti dengan atribut-atribut lainnya.
Selain komunikasi verbal, dalam komunikasi antarbudaya yang sering digunakan adalah komunikasi nonverbal. Makna atau simbol dalam komunikasi nonverbal merupakan suatu hal yang sangat penting dalam komunikasi antarbudaya. Ketidaktepatan memberikan makna dalam komunikasi nonverbal seringkali menimbulkan miskomunikasi, salah satunya adalah bahasa tubuh. Misalnya komunikasi nonverbal “gerakan kepala”. Di Indonesia, anggukan kepala memiliki makna “iya” atau “setuju”. Sedangkan di beberapa negara, anggukan kepala malah berarti “tidak”, seperti di Bulgaria, sementara isyarat untuk “ya” di negara itu adalah menggelengkan kepala (Mulyana, 2003).
Kemudian komunikasi nonverbal “isyarat tangan”. Isyarat tangan sering sekali kita gunakan dalam komunikasi yang dilakukan sehari-hari. Di Indonesia, isyarat dengan mengacungkan ibu jari artinya “sangat bagus” atau “oke”. Namun, di daerah lain seperti di Iran, mengacungkan ibu jari itu menunjukkan makna penyerangan (Purwasito, 2002). Begitupun dengan ekspresi wajah atau tatapan mata. Pemahaman tentang kontak mata antara daerah yang satu dengan daerah lainnya memiliki arti yang berbeda-beda. Penampilan fisik pun demikian, sentuhan, posisi duduk, dan cara berjalan pun bisa digunakan dalam komunikasi antarbudaya. Sebagai contoh dalam budaya Melayu, apabila berjalan di depan orang yang sedang duduk, maka kita harus menundukkan 90 derajat badan kita dengan posisi tangan menjulur ke bawah. Begitupun juga, dalam budaya Melayu, kita tidak diperbolehkan berjalan melangkah makanan dan tidak diperbolehkan makan sambil barkata “aduh”.
Terkait penjelasan di atas, sebenarnya komunikasi antarbudaya akan membahayakan jika tidak diterapkan atau dikembangkan, sebab kesalahpahaman seseorang dalam memaknai suatu pesan, baik verbal maupun nonverbal akan mengakibatkan miskomunikasi dan berdampak negative terhadap suatu masyarakat tersebut. Lalu, jika komunikasi antarbudaya tidak diterapkan secaya efektif, maka golongan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya akan mengalami perbedaan persepsi yang menimbulkan kesalahpahaman.
Perbedaan persepsi atau kesalahpahaman ini bukan hanya disebabkan karena perbedaan bahasa daerah antara satu dengan daerah lainnya. Kondisi ini juga terjadi manakala terjadi antara bahasa daerah dengan bahasa Indonesia yang mengalami perbedaan pemaknaan terhadap satu kata yang digunakan. Oleh karena itulah, komunikasi antarbudaya merupakan kajian yang sangat penting dalam kehidupan dan perlu dipelajari agar tidak ada kesalahpahaman antara satu budaya dengan budaya lainnya.

Referensi:
Darmastuti, R. (2013). Midfullness dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Buku Litera Yogyakarta.
Mulyana, D. (2003). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Purwasito, A. (2002). Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Selasa, 03 Mei 2016

MANAJEMEN KRISIS Chapter 1

MANAJEMEN KRISIS

1.1  Manajemen krisis
Krisis merupakan suatu kejadian besar dan tidak terduga yang memiliki dampak negative tehadap suatu perusahaan maupun oganisasi. Kejadian ini bisa saja menghancurkan organisasi dan karyawan, produk, jasa kondisi keuangan, dan reputasi (Laurence Barton, dalam Windriati 2011). Di setiap perusahaan maupun organisasi, keadaan krisis mungin dan hampir terjadi. Suatu organisasi maupun perusahaan yang mengalami krisis akan mengalami keadaan gawat dan genting, yang mana organisasi maupun perusahaan tersebut bisa menjadi lebih baik ataupun lebih buruk.
Krisis yang terjadi biasanya dapat mengganggu transaksi normal, bahkan dapat mengancam kelansungan hidup atau keberadaan suatu organisasi. Ancaman maupun datangnya krisis tidak teduga, dan tidak diketahui oleh suatu organisasi atau perusahaan bahwa krisis dapat mengancamnya. Dampak dari krisis sendiri akan menjadi malapetaka dan dapat merugikan suatu organisasi ataupun perusahaan itu sendiri, juga dapat merugikan komunitas sekitar. Secara tidak langsusng, suatu organisasi atau perusahaan juga akan kehilangan kepercayaan dan reputasi di mata masyarakat, karna krisis yang terjadi di suatu organisasi atau perusahaan tersebut akan meresahkan masyarakat.
Oleh karena itu, krisis yang terjadi harus ditangani secara cepat agar perusahaan maupun organisasi dapat kembali normal. Penanganan krisis tergantung pada kemauan yang serius untuk mengatasi kecepatan bertindak yang tepat, kesiapan aparat untuk tenaga bantuan, kejujuran dan keterbukaan, serta kerjasama dengan semua pihak. Sebelum penanganan krisis, tipe krisis harus diketahui terlebih dahulu oleh praktisi public relation. Penanganan ini akan dilakukan dengan menggunakan perencanaan strategik dan manajemen resiko, tergantungn pada tipe krisis yang bersangkutan. Setiap krisis harus dihadapi serius oleh pimpinan dan disampaikan kepada publik secara jujur, agar apabila krisis telah terlewati, maka public akan yakin dan masih mempercayai organisasi ataupun perusahaan yang telah mengalami krisis tersebut.
             Mengenai hal tersebut, Claudia Reinhardt (Hiw to Handle a Crisis, 1987 dalam Cutlip Center: 389), mengkategorikan tipe krisis berdasarkan waktu, yaitu:
1.      Krisis yang bersifat segera (immediate crises)
Krisis yang bersifat severa merupakan krisis yang paling ditakuti karena terjadi secara tiba-tiba, tidak terduga, dan tanpa diketahui atau diharapkan oleh suatu pihak, organisasi mauoun perusahaan. Dalam krisis ini barus menyiapkan manajemen khusus untuk melakukan bagaimana penanggulanagan krisis yang terjadi yang besifat segera agar tidak menimbulkan kebingungan, konflik, dan penundaan dalam menangani krisis tersebut.
2.      Krisis baru muncul (emerging crises)
Sebelum melakukan perencanaan penanggulangan krisis, tipe krisis ini masih dapat dilakukan penelitian dan perencanaan terlebih dahulu oleh praktisi public relation. Namun, jika penanganannya dibiarlakn terlalu lama, maka krisis ini akan meledak dan menghancurkan organisasi atau perusahaan tersebut. Untuk mencapai tahapan krisis, public relation akan menvalami tantangan berat untuk mengambil tindakan dalam perbaikan dan meyakinkan manajemen puncak.
3.      Krisis bertahan (sustained crises)
Meskipun telah dilakukan penanganan dan penanggulangan krisis oleh pihak manajemen organisasi atau perusahaan, tetapi tipe krisis ini masih tetap terjadi selama berbulan-bulan maupun bertahun-tahun (Morissan, dalam Windriati 2011).

1.2  Anatomi krisis
Krisis yang terjadi  pada suatu perusahaan terjadi dalam berbagai tahapan. Oleh karena itu, perlu dipahami tahapan-tahapan khusus dari suatu krisis sebelum menentukan strategi manajemen dan komunikasi krisis. Perusahaan maupun organissasi tidak akan mengalami banyak kerugian jika perusahaan maupun organisasi tersebut dapat mengantisipasi berbagai krisis yang ada. Seorang konsultan krisis terkemuka di Amerika, Steven Fink dalam (Windriati, 2011), membagi siklus krisis dalam beberapa tahapan. Masing-masig tahapan tersebut saling berhubungan dan membentuk siklus. Adapun tahapan yang dimaksud, yaitu tahap prodromal, tahap akut, tahap kronik, dan tahap resolusi (penyembuhan).

a.       Tahap Pedromal
Pada tahap ini, krisis sudah mulai muncul. Namun, baik perusahaan maupun organisasi masih bergerak lancar karna krisis yang terjadi sering dilupakan orang. Tahap pedromal dapat memberikan sirine tanda bahaya mengenai sintom-sintom yang harus diatasi. Hal ini sering disebut sebagai warning stage. Bila manajemen gagal mengartikan atau menangkap sinyal ini, krisis akan bergeser ke tahap yang lebih serius, yaitu tahap akut.
b.      Tahap Akut
Krisis tahap akut sering disebut sebagai the point of no return. Artinya sinyal-sinyal yang muncul pada tahap peringatan (prodromal) tidak dapat dihindarkan. Krisis ini akan masuk ke tahap akut dan tidak bisa kembali lagi. Reaksi krisis mulai berdatangan. Kerusakan dan isu bermunculan dan menyebar luas. Begitupun dengan kerugian yang muncul sangat tergantung pada manajemen penanggulangan krisis. Intensitas dan kecepatan serangan krisis yang datang dari berbagai pihak menjadi penghalang dan sulit untuk dapat menghadapi krisis pada tahap akut, karna kecepatan serangan itu ditentukan oleh kompleksnya permasalahan (Windriati, 2011).
c.       Tahap Kronis
Di dalam perusahaan maupun organisasi, tahap kronis ditandai dengan perubahan structural, bisa saja pergantian manajemen, pemilik, atau masuknya nama-nama baru sebagai pemilik. Tidak hanya itu, dalam tahap ini bisa saja perusahaan bangkrut atau dilikuidasi.  Maka, skhir dari tahap ini diselesaikan dengan langkah pembersihan atau biasa disebut sebagai tahap recovery atau self analysis.
d.      Tahap Resolusi (Penyembuhan)
Tahap ini merupakan tahap terakhir. Pada tahap resolusi (penyembuhan), meskipun bencana besar (krisis) sudah berlalu, tetapi perusahaan perlu berhati-hati, karna pada tahap ini krisis tidak akan pernah berhenti begitu saja. Tanpa disadari, bisa saja krisis akan membawa kembali keadaan semula di tahap prodromal, karna pada umumnya krisis berbentuk siklus (Kasali, dalam windriati 2011).

1.3  Pengelolaan krisis
Kasali dalam (Windriati, 2011) menyebutkan langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mengelola krisis, yaitu:
a.         Identifikasi Krisis
Praktisi Public Relation perlu melakukan  penelitian agar dapat mengidentifikasikan suatu krisis, yaitu dengan memahami faktor-faktor penyebab terjadinya krisis, bisa berupa hubungan kerja yang buruk, terkait dengan masalah kriminal, pergantian manajemen, dan lain sebagainya.
b.      Analisis Krisis
Sebelum melakukan komunikasi, praktisi Public Relations harus melakukan analisis parsial sampai analisis integral yang kait mengkait atas masukan yang diperoleh.
c.     Isolasi Krisis
Agar krisis tidak menyebar luas, maka dapat dicegah dengan isolasi. Tindakan isolasi ini bisa berupa suatu kegiatan yang memerlukan penanganan khusus agar tidak terganggu dengan kegiatan lain yang sedang berlansung.
d.        Pilihan Strategi
Sebelum mengambil langkah-langkah komunikasi untuk mengendalikan krisis, perusahaan perlu melakukan penetapan strategi generik yang akan diambil. Ada tiga strategi generik untuk menangani krisis, yakni:
v Defensive Strategy (Strategi Defensif), meliputi:
-          Mengulur waktu
-          Tidak melakukan apa-apa (not in action atau low profile), dan
-          Membentengi diri dengan kuat (stone walling)
v  Adaptive Strategy (Strategi Adaptif), meliputi:
-          Mengubah kebijakan
-          Modifikasi operasional
-          Kompromi
-          Meluruskan citra
v  Dynamic Strategy (Strategi Dinamis), meliputi:
-          Merger dan akuisisi
-          Investasi baru
-          Menjual saham
-          Meluncurkan produk baru/menarik peredaran produk lama
-          Menggandeng kekuasaan
-          Melempar isu baru untuk mengalihkan perhatian
e.       Program pengendalian
Program pengendalian adalah langkah penerapan yang dilakukan organisasi atau perusahaan untuk menuju strategi generik yang telah dirumuskan. Dengan melakukan strategi yang tepat, maka organisasi atau perusahaan dapat memperbaiki kembali citra yang sempat negatif di mata masyarakat, sehingga akan terbentuk kembali citra positif seperti yang sudah terbentuk sebelum krisis tersebut muncul. Adapun program pengendalian biasanya disusun di lapangan ketika krisis muncul dengan mengimplementasi pengendalian yang diterapkan pada:
-          Perusahaan (beserta cabang perusahaan)
-          Industri (gabungan usaha sejenis)
-          Komunitas, dan
-          Divisi-divisi perusahaan

1.4  Komunikasi krisis
Komunikasi krisis merupakan komunikasi antara organisasi atau perusahaan dengan public pada umumnya, baik sebelum kejadian krisis, selama kejadian, maupun setelah kejadian krisis. Komunikasi ini dirancang melalui program-program untuk meminimalisir kerusakan terhadap citra organisasi (Frearn Banks, dalam Prayudi 1998: 38). Dalam hal ini, informasi seputar krisis akan terus meningkat ketika organisasi atau perusahaan tersebut mengalami krisis. Kekhawatiran organisasi ataupun perusahaan akan terjadi dan dapat mengarah pada tindakan-tindakan yang dapat merugikan organisasi atau perusahaan itu sendiri seperti, penarikan modal, mundurnya investor, dan sebagainya. Maka dari itu, Coombs (1994) (dalam Prayudi, 1998: 39) menyebutkan lima strategi yang biasanya digunakan dalam komunikasi krisis, yaitu:
a.       Non – existence strategies.
Dalam strategi ini terdapat rumor, yang mana organisasi atau perusahaan sedang menghadapi krisis, namun kenyataannya organisasi atau perusahaan tersebut tidak mengalami krisis. Non existence strategies berupa pesan penyangkalan (denial), penjelasan disertai alasan (clarification), menyerang pihak penyebar rumor (attack), dan mengancam berdasarkan hukum (intimidation).
b.      Distance strategies.
Krisis yang terjadi diakui oleh pihak organisasi ataupun perusahaan. Mereka berusaha untuk memperlemah hubungan antara organisasi dengan krisis yang terjadi. Bahkan organisasi melakukan penolakan terhadap krisis dan tidak bermaksud melakukan hal-hal negatif, penyangkalan kemauan (excuse) dan melakukan klaim bahwa kerusakan yang terjadi tidak serius (justification).
c.       Ingratiation strategies.
Bentuk oesan dalam strategi ini berupa pengingatan kepada publik akan hal-hal positif yang dilakukan organisasi atau perusahaan dan bertujuan untuk mencari dukungan publik. Organisasi ataupun perusahaan mengatakan hal-hal baik kepada publik terhadap apa yang dilakukan publik, dan menempatkan krisis dalam konteks yang lebih besar.
d.      Mortification strategies.
Pada strategi ini, organisasi atau perusahaan berusaha mengakui kesalahan dan meminta maaf atas kenyataan terjadinya krisis. Bentuknya bisa berupa kompensasi kepada korban, meminta maaf kepada publik, dan mengambil tindakan untuk mengurangi krisis.
e.       Surffering strategies.
Organisasi atau perusahaan mengakui bahkan menunjukkan kepada public bahwa ia juga menderita sebagaimana korban dari krisis untuk memperoleh dukungan dan simpati publik.

Reference:
Windriati, F. S. (2011). Analisa Manajemen Krisis PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Pontianak dalam Peristiwa Tenggelamnya Kapal Di Alur Pelayaran Pelabuhan. Skripsi, 38.
Windriati, F. S. (2011). Analisa Manajemen Krisis PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Pontianak dalam Peristiwa Tenggelamnya Kapal Di Alur Pelayaran Pelabuhan. Skripsi, 37.