Kampus Ku Untuk Indonesia Jaya

Kampus Ku Untuk Indonesia Jaya

Selasa, 03 Mei 2016

MANAJEMEN KRISIS Chapter 1

MANAJEMEN KRISIS

1.1  Manajemen krisis
Krisis merupakan suatu kejadian besar dan tidak terduga yang memiliki dampak negative tehadap suatu perusahaan maupun oganisasi. Kejadian ini bisa saja menghancurkan organisasi dan karyawan, produk, jasa kondisi keuangan, dan reputasi (Laurence Barton, dalam Windriati 2011). Di setiap perusahaan maupun organisasi, keadaan krisis mungin dan hampir terjadi. Suatu organisasi maupun perusahaan yang mengalami krisis akan mengalami keadaan gawat dan genting, yang mana organisasi maupun perusahaan tersebut bisa menjadi lebih baik ataupun lebih buruk.
Krisis yang terjadi biasanya dapat mengganggu transaksi normal, bahkan dapat mengancam kelansungan hidup atau keberadaan suatu organisasi. Ancaman maupun datangnya krisis tidak teduga, dan tidak diketahui oleh suatu organisasi atau perusahaan bahwa krisis dapat mengancamnya. Dampak dari krisis sendiri akan menjadi malapetaka dan dapat merugikan suatu organisasi ataupun perusahaan itu sendiri, juga dapat merugikan komunitas sekitar. Secara tidak langsusng, suatu organisasi atau perusahaan juga akan kehilangan kepercayaan dan reputasi di mata masyarakat, karna krisis yang terjadi di suatu organisasi atau perusahaan tersebut akan meresahkan masyarakat.
Oleh karena itu, krisis yang terjadi harus ditangani secara cepat agar perusahaan maupun organisasi dapat kembali normal. Penanganan krisis tergantung pada kemauan yang serius untuk mengatasi kecepatan bertindak yang tepat, kesiapan aparat untuk tenaga bantuan, kejujuran dan keterbukaan, serta kerjasama dengan semua pihak. Sebelum penanganan krisis, tipe krisis harus diketahui terlebih dahulu oleh praktisi public relation. Penanganan ini akan dilakukan dengan menggunakan perencanaan strategik dan manajemen resiko, tergantungn pada tipe krisis yang bersangkutan. Setiap krisis harus dihadapi serius oleh pimpinan dan disampaikan kepada publik secara jujur, agar apabila krisis telah terlewati, maka public akan yakin dan masih mempercayai organisasi ataupun perusahaan yang telah mengalami krisis tersebut.
             Mengenai hal tersebut, Claudia Reinhardt (Hiw to Handle a Crisis, 1987 dalam Cutlip Center: 389), mengkategorikan tipe krisis berdasarkan waktu, yaitu:
1.      Krisis yang bersifat segera (immediate crises)
Krisis yang bersifat severa merupakan krisis yang paling ditakuti karena terjadi secara tiba-tiba, tidak terduga, dan tanpa diketahui atau diharapkan oleh suatu pihak, organisasi mauoun perusahaan. Dalam krisis ini barus menyiapkan manajemen khusus untuk melakukan bagaimana penanggulanagan krisis yang terjadi yang besifat segera agar tidak menimbulkan kebingungan, konflik, dan penundaan dalam menangani krisis tersebut.
2.      Krisis baru muncul (emerging crises)
Sebelum melakukan perencanaan penanggulangan krisis, tipe krisis ini masih dapat dilakukan penelitian dan perencanaan terlebih dahulu oleh praktisi public relation. Namun, jika penanganannya dibiarlakn terlalu lama, maka krisis ini akan meledak dan menghancurkan organisasi atau perusahaan tersebut. Untuk mencapai tahapan krisis, public relation akan menvalami tantangan berat untuk mengambil tindakan dalam perbaikan dan meyakinkan manajemen puncak.
3.      Krisis bertahan (sustained crises)
Meskipun telah dilakukan penanganan dan penanggulangan krisis oleh pihak manajemen organisasi atau perusahaan, tetapi tipe krisis ini masih tetap terjadi selama berbulan-bulan maupun bertahun-tahun (Morissan, dalam Windriati 2011).

1.2  Anatomi krisis
Krisis yang terjadi  pada suatu perusahaan terjadi dalam berbagai tahapan. Oleh karena itu, perlu dipahami tahapan-tahapan khusus dari suatu krisis sebelum menentukan strategi manajemen dan komunikasi krisis. Perusahaan maupun organissasi tidak akan mengalami banyak kerugian jika perusahaan maupun organisasi tersebut dapat mengantisipasi berbagai krisis yang ada. Seorang konsultan krisis terkemuka di Amerika, Steven Fink dalam (Windriati, 2011), membagi siklus krisis dalam beberapa tahapan. Masing-masig tahapan tersebut saling berhubungan dan membentuk siklus. Adapun tahapan yang dimaksud, yaitu tahap prodromal, tahap akut, tahap kronik, dan tahap resolusi (penyembuhan).

a.       Tahap Pedromal
Pada tahap ini, krisis sudah mulai muncul. Namun, baik perusahaan maupun organisasi masih bergerak lancar karna krisis yang terjadi sering dilupakan orang. Tahap pedromal dapat memberikan sirine tanda bahaya mengenai sintom-sintom yang harus diatasi. Hal ini sering disebut sebagai warning stage. Bila manajemen gagal mengartikan atau menangkap sinyal ini, krisis akan bergeser ke tahap yang lebih serius, yaitu tahap akut.
b.      Tahap Akut
Krisis tahap akut sering disebut sebagai the point of no return. Artinya sinyal-sinyal yang muncul pada tahap peringatan (prodromal) tidak dapat dihindarkan. Krisis ini akan masuk ke tahap akut dan tidak bisa kembali lagi. Reaksi krisis mulai berdatangan. Kerusakan dan isu bermunculan dan menyebar luas. Begitupun dengan kerugian yang muncul sangat tergantung pada manajemen penanggulangan krisis. Intensitas dan kecepatan serangan krisis yang datang dari berbagai pihak menjadi penghalang dan sulit untuk dapat menghadapi krisis pada tahap akut, karna kecepatan serangan itu ditentukan oleh kompleksnya permasalahan (Windriati, 2011).
c.       Tahap Kronis
Di dalam perusahaan maupun organisasi, tahap kronis ditandai dengan perubahan structural, bisa saja pergantian manajemen, pemilik, atau masuknya nama-nama baru sebagai pemilik. Tidak hanya itu, dalam tahap ini bisa saja perusahaan bangkrut atau dilikuidasi.  Maka, skhir dari tahap ini diselesaikan dengan langkah pembersihan atau biasa disebut sebagai tahap recovery atau self analysis.
d.      Tahap Resolusi (Penyembuhan)
Tahap ini merupakan tahap terakhir. Pada tahap resolusi (penyembuhan), meskipun bencana besar (krisis) sudah berlalu, tetapi perusahaan perlu berhati-hati, karna pada tahap ini krisis tidak akan pernah berhenti begitu saja. Tanpa disadari, bisa saja krisis akan membawa kembali keadaan semula di tahap prodromal, karna pada umumnya krisis berbentuk siklus (Kasali, dalam windriati 2011).

1.3  Pengelolaan krisis
Kasali dalam (Windriati, 2011) menyebutkan langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mengelola krisis, yaitu:
a.         Identifikasi Krisis
Praktisi Public Relation perlu melakukan  penelitian agar dapat mengidentifikasikan suatu krisis, yaitu dengan memahami faktor-faktor penyebab terjadinya krisis, bisa berupa hubungan kerja yang buruk, terkait dengan masalah kriminal, pergantian manajemen, dan lain sebagainya.
b.      Analisis Krisis
Sebelum melakukan komunikasi, praktisi Public Relations harus melakukan analisis parsial sampai analisis integral yang kait mengkait atas masukan yang diperoleh.
c.     Isolasi Krisis
Agar krisis tidak menyebar luas, maka dapat dicegah dengan isolasi. Tindakan isolasi ini bisa berupa suatu kegiatan yang memerlukan penanganan khusus agar tidak terganggu dengan kegiatan lain yang sedang berlansung.
d.        Pilihan Strategi
Sebelum mengambil langkah-langkah komunikasi untuk mengendalikan krisis, perusahaan perlu melakukan penetapan strategi generik yang akan diambil. Ada tiga strategi generik untuk menangani krisis, yakni:
v Defensive Strategy (Strategi Defensif), meliputi:
-          Mengulur waktu
-          Tidak melakukan apa-apa (not in action atau low profile), dan
-          Membentengi diri dengan kuat (stone walling)
v  Adaptive Strategy (Strategi Adaptif), meliputi:
-          Mengubah kebijakan
-          Modifikasi operasional
-          Kompromi
-          Meluruskan citra
v  Dynamic Strategy (Strategi Dinamis), meliputi:
-          Merger dan akuisisi
-          Investasi baru
-          Menjual saham
-          Meluncurkan produk baru/menarik peredaran produk lama
-          Menggandeng kekuasaan
-          Melempar isu baru untuk mengalihkan perhatian
e.       Program pengendalian
Program pengendalian adalah langkah penerapan yang dilakukan organisasi atau perusahaan untuk menuju strategi generik yang telah dirumuskan. Dengan melakukan strategi yang tepat, maka organisasi atau perusahaan dapat memperbaiki kembali citra yang sempat negatif di mata masyarakat, sehingga akan terbentuk kembali citra positif seperti yang sudah terbentuk sebelum krisis tersebut muncul. Adapun program pengendalian biasanya disusun di lapangan ketika krisis muncul dengan mengimplementasi pengendalian yang diterapkan pada:
-          Perusahaan (beserta cabang perusahaan)
-          Industri (gabungan usaha sejenis)
-          Komunitas, dan
-          Divisi-divisi perusahaan

1.4  Komunikasi krisis
Komunikasi krisis merupakan komunikasi antara organisasi atau perusahaan dengan public pada umumnya, baik sebelum kejadian krisis, selama kejadian, maupun setelah kejadian krisis. Komunikasi ini dirancang melalui program-program untuk meminimalisir kerusakan terhadap citra organisasi (Frearn Banks, dalam Prayudi 1998: 38). Dalam hal ini, informasi seputar krisis akan terus meningkat ketika organisasi atau perusahaan tersebut mengalami krisis. Kekhawatiran organisasi ataupun perusahaan akan terjadi dan dapat mengarah pada tindakan-tindakan yang dapat merugikan organisasi atau perusahaan itu sendiri seperti, penarikan modal, mundurnya investor, dan sebagainya. Maka dari itu, Coombs (1994) (dalam Prayudi, 1998: 39) menyebutkan lima strategi yang biasanya digunakan dalam komunikasi krisis, yaitu:
a.       Non – existence strategies.
Dalam strategi ini terdapat rumor, yang mana organisasi atau perusahaan sedang menghadapi krisis, namun kenyataannya organisasi atau perusahaan tersebut tidak mengalami krisis. Non existence strategies berupa pesan penyangkalan (denial), penjelasan disertai alasan (clarification), menyerang pihak penyebar rumor (attack), dan mengancam berdasarkan hukum (intimidation).
b.      Distance strategies.
Krisis yang terjadi diakui oleh pihak organisasi ataupun perusahaan. Mereka berusaha untuk memperlemah hubungan antara organisasi dengan krisis yang terjadi. Bahkan organisasi melakukan penolakan terhadap krisis dan tidak bermaksud melakukan hal-hal negatif, penyangkalan kemauan (excuse) dan melakukan klaim bahwa kerusakan yang terjadi tidak serius (justification).
c.       Ingratiation strategies.
Bentuk oesan dalam strategi ini berupa pengingatan kepada publik akan hal-hal positif yang dilakukan organisasi atau perusahaan dan bertujuan untuk mencari dukungan publik. Organisasi ataupun perusahaan mengatakan hal-hal baik kepada publik terhadap apa yang dilakukan publik, dan menempatkan krisis dalam konteks yang lebih besar.
d.      Mortification strategies.
Pada strategi ini, organisasi atau perusahaan berusaha mengakui kesalahan dan meminta maaf atas kenyataan terjadinya krisis. Bentuknya bisa berupa kompensasi kepada korban, meminta maaf kepada publik, dan mengambil tindakan untuk mengurangi krisis.
e.       Surffering strategies.
Organisasi atau perusahaan mengakui bahkan menunjukkan kepada public bahwa ia juga menderita sebagaimana korban dari krisis untuk memperoleh dukungan dan simpati publik.

Reference:
Windriati, F. S. (2011). Analisa Manajemen Krisis PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Pontianak dalam Peristiwa Tenggelamnya Kapal Di Alur Pelayaran Pelabuhan. Skripsi, 38.
Windriati, F. S. (2011). Analisa Manajemen Krisis PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) Cabang Pontianak dalam Peristiwa Tenggelamnya Kapal Di Alur Pelayaran Pelabuhan. Skripsi, 37.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar