Kampus Ku Untuk Indonesia Jaya

Kampus Ku Untuk Indonesia Jaya

Kamis, 26 Februari 2015

MAKALAH FILSAFAT "Analisis Pengaruh Program Televisi Let Me In Terhadap Operasi Plastik Pada Wanita Di Korea Selatan"

POSTMODERNISME
(Analisis Pengaruh Program Televisi “Let Me In
Terhadap Operasi Plastik Pada Wanita Di Korea Selatan)

Makalah Filsafat Komunikasi



KELOMPOK VII
                        ABDI SANJAYA                                          004135602653083
                        ABIGAIL FLORENCIA CORES              004132616427943
                        KRISTIE YENSI POLII                             004139975119560


NILAI PRESENTASI
98,43

DIGITAL COMMUNICATION STUDY PROGRAM
GREEN ECONOMY AND DIGITAL COMMUNICATION FACULTY
SURYA UNIVERSITY
SERPONG
2014




KATA PENGANTAR
Puji syukur  ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Filsafat Komunikasi tentang Postmodernisme dengan judul pembahasan Analisis Pengaruh Program Televisi “Let Me In” Terhadap Operasi Plastik Pada Wanita Di Korea Selatanuntuk memenuhi salah satu persyaratan tugas Mata Kuliah Filsafat Komunikasi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing Mata Kuliah Filsafat Komunikasi, Bapak Aryaning Arya Kresna S.Fil., M.Hum., karena atas bimbingan beliau maka kami dapat mengetahui  dan mengerti tentang Postmodernisme.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan pembaca pada umumnya. Akhir kata, semoga pembahasan ini dapat bermanfaat sebagaimana tujuan yang kami harapkan.


Serpong, November 2014

                                     Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1          
1.      Posmodern......................................................................................................... 1
1.1 Sejarah Postmodern..................................................................................... 1
1.2 Sejarah Filsafat Postmodern........................................................................ 3
1.3 Pengertian Postmodern................................................................................ 4
1.4 Tokoh Postmodern....................................................................................... 5
1.4.1 Michael Founcault............................................................................. 6
1.4.2 Friedrich Wilhelm Nietzsche............................................................. 7
1.4.3 Jacques Derrida................................................................................. 10
1.4.4 Jean Francois Lyotard....................................................................... 13
1.4.5 Jean Baudrillard................................................................................ 16
BAB II ANALISIS PENGARUH PROGRAM TELEVISI “LET ME IN” TERHADAP OPERASI PLASTIK PADA WANITA DI KOREA SELATAN............................................ 19
1.      Latar Belakang Masalah.................................................................................... 19
2.      Rumusan Masalah............................................................................................. 22
3.      Metode Penelitian............................................................................................. 22
4.      Tujuan Penelitian............................................................................................... 23
5.      Landasan Teori.................................................................................................. 23
6.      Pembahasan....................................................................................................... 23
6.1 Bagaimana Pandangan Postmodern Terhadap Program Televisi “Let Me In” Di Korea Selatan?    23
6.2 Bagaimana “Grand Narasi” Yang Dibentuk dalam Program Reality Televisi Show “Let Me In” Pada Wanita Di Korea Selatan?......................................................................... 26
7.      Penutup............................................................................................................. 27
7.1 Kesimpulan................................................................................................. 27
7.2 Saran........................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 28




BAB I
PENDAHULUAN

1.      Postmodern
1.1  Sejarah Postmodern
Istilah postmodernisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Jerman, Rudolf  Pannwitz, pada tahun 1917, untuk menggambarkan nihilisme budaya barat abad ke-20. Istilah ini pertama kali muncul pada bidang seni dan kemudian juga arsitektur, ketika perumahan Pruitt-Igoe di St. Louis dihancurkan dengan dinamit dan dimulailah pengembangan karya-karya arsitektur yang berwajah baru. Postmodernisme lahir sebagai kritik atas modernisme, yang sangat berpegang kepada fundamentalisme dogmatis atau fudamentalisme epitemilogis.
Keyakinan fundamental/ fondasional menjadi syarat utama untuk membenarkan pengetahuan yang dibangun di atasnya. Keyakinan-keyakinan tidak bersifat sirkuler, namun harus sampai pada satu titik aksiomatis, yang tidak membutuhkan pembenaran apapun. Jelas rasiolah yang mampu mengerjakannya dengan teliti, rasio adalah pusat. Kebenaran (truth) adalah persesuaian antara sesuatu dengan fondasinya dan sekaligus persesuaian antara akal dan kenyataan yang dicermati, antara subjek yang mengamati dan objek yang teramati.
Fondasionalisme/fundamentalisme menyimpan sebuah kepastian bahwa dasar mutlak tersebut tidak terikat pada ruang dan waktu hidup manusia. Ia harus a-historis agar tetap mampu menjadi fondasi ilmu dan segi-segi hidup lainnya. Kebenaran adalah absolut dan mengabaikan dialog yang jujur dengan wacana historis dan sosial.
Kritik postmodernisme terhadap fundamentalisme/ fondasionalisme mengemukakan bahwa kriteria kebenaran adalah koherensi atau hubungan pertalian dan pengesahan pernyataan seseorang oleh komunitas. Kebenaran amat terkait dan terikat pada kenyataan sosial. Tidak pernah ada kebenaran yang fondasional, metafisis dan independen, yang lepas dari kenyataan sosial. Usaha untuk mencapai kepastian transenden, bagi kaum fondasional, justru membuat manusia berusaha menjadi Allah dan lari dari batas-batas kemanusiaanya sendiri.
Kritik postmodernisme adalah harapan manusia untuk menjadi apa saja harus diputuskan, selain menjadi manusia saja. Komunitas menjadi sangat penting artinya. Jati diri manusia mendapat tempat yang otentik dalam hidup bersama. Komunitas menolak kesatuan, penyeragaman, dan kesamaan mutlak. Yang ada adalah ke-lain-an (otherness) dan kepelbagaian (diversity).
Semangat postmodern merambah pula sampai pada bidang ilmu teologi. Istilah postmodernisme di bidang teologi pertama kali digunakan di Inggris pada tahun 1933 oleh Bernard Iddings Bell, seorang teolog yang berusaha mengetengahkan kegagalan modernisme sekuler dan kembalinya agama dalam kehidupan manusia. Teologi postmodernisme mengacu pada dua isu, yaitu: pertama, komunalitas hidup. Teologi postmodernisme membebaskan manusia yang terasing dari manusia yang berkuasa dan kemudian menempatkan mereka secara bersama-sama dalam kesejajaran. Komunitas-komunitas basis yang selama ini terasing, diperkuat kembali. Manusia hidup dalam konteksnya sehingga fungsi akal budi harus dibarengi dengan aksi atau praksis terhadap kenyataan sosial yang dihadapi. Persoalan komunalitas berimbas kepada oikumene.
Jika oikumene dipahami sebagai seluruh bumi yang didiami, maka terdapat dua arah teologis yang perlu dikembangkan, yaitu teologi oikumene yang berwawasan ekologis, yang menempatkan manusia dalam konteks lingkungan semesta, dan perlu dikembangkan sebuah teologi oikumene yang melihat kehadiran sesama yang beriman lain dalam konteks dunia yang satu ini. Isu kedua dari teologi postmodernisme adalah makna dan kebenaran. Ide pluralitas bukan hanya dalam diskursus mengenai wacana suci namun juga tentang Allah sendiri, sungguh memberi kemungkinan teologis yang besar bagi sebuah theologia religionum yang sehat. Seringkali penganut eksklusivis menuduh kaum pluralis mengabaikan keunikan dalam agama-agama.
Bagi kaum pluralis, keunikan agama-agama adalah sebuah keunikan relasional. Artinya, mengakui kebenaran yang diyakini bersifat relatif di tengah arena agama-agama lain, tidak serta-merta mengabaikan keunikan kebenaran agama, namun sebaliknya, mengakui keunikan kebenaran itu dalam relasi dengan agama lain. Sehingga interpertasi-interpertasi bukan didasarkan kepada sesuatu yang sifatnya universal, namun interpertasi sangat terikat dengan kondisi kultural, kontekstual dan historis di mana manusia berada.

1.2  Sejarah Filsafat Postmodern
Filsafat postmodern pertama kali muncul di Perancis pada sekitar tahun 1970-an, terlebih ketika Jean Francois Lyotard menulis pemikirannya tentang kondisi legitimasi era postmodern, dimana narasi-narasi besar dunia modern (seperti rasionalisme, kapitalisme, dan komunisme) tidak dapat dipertahankan lagi. Pada awalnya postmodern lahir terhadap kritik arsitektur, dan harus kita akui kata postmodern itu sendiri muncul sebagai bagian modernitas. Benih posmo pada awalnya tumbuh di lingkungan arsitektur. Charles Jencks dengan bukunya “The Language of Postmodern” . Architecture (1975) menyebut postmodern sebagai upaya untuk mencari pluralisme gaya arsitektur setelah ratusan tahun terkurung satu gaya. Pada sore hari di bulan juli 1972, bangunan yang mana melambangkan kemodernisasian di ledakkan dengan dinamit. Peristiwa peledakan ini menandai kematian modern dan menandakan kelahiran posrmodern.
Ketika postmodern mulai memasuki ranah filsafat, post dalam modern tidak dimaksudkan sebagai sebuah periode atau waktu tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal modern. Postmodern ini merupakan sebuah kritik atas realitas modernitas yang dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek pencerahan. Nafas utama dari posmodern adalah penolakan atas narasi-narasi besar yang muncul pada dunia modern dengan ketunggalan gangguan terhadap akal budi dan mulai memberi tempat bagi narasi-narasi kecil, lokal, tersebar dan beraneka ragam untuk untuk bersuara dan menampakkan dirinya.
Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan atau realita adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari konstruk sosial, kebenaran disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan.
Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan sosiologi. Postmodern akhiryna menjadi kritik kebudayaan atas modernita. Apa yang dibanggakan oleh pikiran modern sekarang dikutuk dan apa yang dulu dianggap rendah sekarang justru dihargai.

1.3  Pengertian Postmodern
Secara etimologis Postmodernisme terbagi menjadi dua kata, post dan modern. Kata post, dalam Webster’s Dictionary Library adalah bentuk prefix, diartikan dengan ‘later or after’. Bila kita menyatukannya menjadi postmodern maka akan berarti sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri dengan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat terjawab di zaman modern yang muncul karena adanya modernitas itu sendiri.  Sedangkan secara terminologi, menurut tokoh dari postmodern, Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain:
Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas.
Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri.
Hal ini senada dengan definisi dari Friedrich Wilhelm Nietzsche sche (1844-1900) dikenal sebagai nabi dari postmedernisme. Dia adalah suara pionir yang menentang rasionalitas, moralitas tradisional, objektivitas, dan pemikiran- pemikiran Kristen pada umumnya. Nietzsche sche berkata, “Ada banyak macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu ada banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.” Menurut Romo Tom Jacob, kata ‘postmodern’ setidaknya memiliki dua arti: (1) dapat menjadi nama untuk reaksi terhadap modernisme, yang dipandang kurang human, dan mau kembali kepada situasi pra-modernisme dan sering ditemukan dalam fundamentalisme; (2) suatu perlawanan terhadap yang lampau yang harus diganti dengan sesuatu yang serba baru dan tidak jarang menjurus ke arah sekularisme.  

1.4  Tokoh Postmodern
Tokoh-tokoh pemikir postmodern ini terbagi ke dalam dua model cara berpikir yakni dekonstruktif dan rekonstruktif. Para filsuf sosial berkebangsaan Prancis lebih banyak mendukung cara berpikir postmodern dekonstruktif ini. Para pemikir Perancis itu antara lain: Friedrich Wilhelm Nietzsche sche, ean Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michel Foucault, Pauline Rosenau, Jean Baudrillard ,dan Richard Rorty. sementara pemikiran postmodern rekonstruktif dipelopori oleh Teori Kritis Mazhab Frankfurt seperti: Max Horkheimer, Theodor W Adorno, yang akhirnya dilengkapi oleh pemikiran Jurgen Habermas.
1.4.1        Michael Foucault (1926-1984)
Paul – Michel Foucault (Poitiers, 15 Oktober 1926 – Paris 25 Juni 1984) adalah seorang filsuf asal Perancis. Ia adalah salah satu pemikir paling berpengaruh pada zaman pasca perang dunia II. Foucault dikenal akan penelaahannya yang kritis terhadap berbagai institusi sosial, terutama psikiatri, kedokteran dan sistem penjara, serta karya – karyanya tentang riwayat seksualitas. Karyanya yang terkait kekuasaan dan hubungan  antara kekuasaan dengan pengetahuan telah banyak didiskusikan dan diterapkan, selain pula pemikirannya yang terkait dengan “diskursus” dalam konteks sejarah filsafat barat.
Menurut Foucault, bila dalam paradigma modern, kesadaran dan objektifitas adalah dua unsur yang membentuk subjek rasional – otonom, bagi Foucault konsep diri manusia sebenarnya hanyalah produk bentukan diskurs, praktik – praktik, institusi, hukum ataupun sistem – sistem administrasi belaka yang anonim dan impersonal namun sangat kuat mengontrol. Salah satu hal paling inspiratif bagi postmodern adalah sikapnya dalam memahami fenomena modern yang bernama “pengetahuan“ itu terutama pengetahuan sosial. Ia memperkarakan tentang “apa itu pengetahuan“ secara genealogis dan arkeologis. Dengan cara melacak bagaimana pengetahuan itu telah beroperasi dan mengembangkan diri selama ini. Kategori – kategori konseptual macam kegilaan, seksualitas, manusia dan sebagainya. Foucault mendefinisikan kekuasaan dan sejarah adalah sebagai berikut: Kekuasaan adalah soal praktik-praktik konkrit yang lantas menciptakan realitas dan pola- pola perilaku, memproduksi wilayah objek – objek pengetahuan dan ritual- ritual kebenaran yang khas, praktik-praktik itu menciptakan norma-norma yang lalu diproduksi dan dilegitimasi melalui para guru, pekerja sosial, dokter, hakim, polisi dan administrator.
Sejarah adalah permainan dominasi dan resistensi yang bergeser-geser, grouping dan regrouping. Akhirnya perlu disebut jasa lain dari Foucault bagi postmodern adalah ia menampilkan otherness secaralebih konkrit dan grafis dengan analisis-analisis nya atas pihak-pihak yang dalam modernitas biasanya dianggap tidak normal dan tidak lazim yakni kaum homoseksual, orang gila, tubuh, rumah sakit dan sebagainya. Dengan begitu membukakan wilayah-wilayah wacana baru.
1.4.2        Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900)
Lahir di Rochen, Prusia 15 Oktober 1884. Pada masa sekolah dan mahasiswa, ia banyak berkenalan dengan orang-orang besar yang kelak memberikan pengaruh terhadap pemikirannya, seperti John Goethe, Richard Wagner, dan Fredrich Ritschl. Karier bergengsi yang pernah didudukinya adalah sebagai Profesor di Universitas Basel. Menurutnya manusia harus menggunakan skeptisme radikal terhadap kemampuan akal. Tidak ada yang dapat dipercaya dari akal. Terlalu naif jika akal dipercaya mampu memperoleh kebenaran. Kebenaran itu sendiri tidak ada. Jika orang beranggapan dengan akal diperoleh pengetahuan atau kebenaran, maka akal sekaligus merupakan sumber kekeliruan.
Postmodern dan Positivisme Nietzsche adalah tokoh postmodern yang temasuk pengkritik pandangan positivisme August Comte. Menurut Comte, subyek (manusia-red) mampu menangkap fakta kebenaran, sejauh hal itu faktual, positif dan eksak. Akan tetapi menurut Nietzsche , manusia tidak tidak dapat menangkap fakta. Apa yang dilakukan manusia untuk menangkap objek itu hanyalah sekedar interpretasi. (ST. Sunardi,1999:67-68) Banyak pernyataan bahwa Nietzsche tidak percaya bahwa kita bisa mengetahui kebenaran. Fakta kebenaran itu tidak ada, yang ada hanyalah interpretasi dan dan perspektif. Maka dengan dengan sendirinya tidak ada kebenaran universal yang tunggal. Penafsiran itu tidak itu tidak menghasilkan makna final, yang ada hanyalah pluralitas (ST. Sunardi,1999:180).
Sehingga bagi Nietzsche, kebenaran adalah suatu kekeliruan yang berguna untuk mempertahankan arus hidup. Konsepsi epistemologis post-modern yang belum jelas merupakan persoalan yang cukup mendasar. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam interpretasi, setiap orang mempunyai sudut pandang dan perspektif sendiri-sendiri (berbeda-beda). Dalam perpektif, subjek-subjek tertentu bisa dianggap benar, namun bisa jadi keliru bagi perspektif subjek yang lain.  Jika pada masa Modern, manusia mengingkari agama oleh karena pengaruh rasionalitas, namun pada masa Postmodern ini manusia mengingkari agama dengan irrasionalitas.
Pada postmodern ini bermunculan agama-agama baru buatan manusia (--isme) yang merupakan hasil sinkritisme dan pluralisme. Tidak ada kebenaran absolut dalam agama apapun atau mungkin bahkan dalam kitab suci apapun, yang ada adalah kebenaran relatif, kebenaran menurut masing-masing yang memandangnya, sehingga manusia di sini sebagai hakim penentu kebenaran, dan bukan Tuhan yang menjadi penentu kebenaran melalui Kitab Suci yang diwahyukannya. Derrida, melalui teori Dekonstruksi-nya, telah mengantarkan kita pada sebuah model semiotika ketidakberaturan atau semiotics of chaos. Dekonstruksi menolak kemapanan, menolak obyektivitas tunggal dan kestabilan makna.
Karena itu, Dekonstruksi membuka ruang ‘kreatif’ seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan penafsiran. Itulah Dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan mentafsirkan suatu obyek tanpa batas. Ruang makna terbuka luas. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan makna-makna lain. Demikian seterusnya. Sehingga, demikian bebas dan banyaknya makna dan tafsiran, membuat era dekontruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tidak berarti lagi.
Fenomena postmodernisme ini memunculkan berbagai macam persoalan tentang peran iman dan agama. Ketika manusia tidak lagi percaya akan rasionalitas yang dianggap telah gagal melanjutkan proyek pencerahannya, maka dunia tidak lagi diatur oleh kebenaran tunggal dan sistem mekanis. Segala bentuk kebenaran tunggal ditolak dan direlativkan, demikian juga agama, teologi dan ajaran iman. Pada saat itulah manusia berada dalam kotak-kotak individualisme yang berdiri sendiri. Ada yang kemudian jatuh kepada ekstrim fundamentalisme dan yang lain ke arah sekularisme.
Untuk itu, persoalan dasar dalam dunia postmodern ini pertama-tama adalah soal hermeneutika dan komunikasi. Bahasa menjadi medan hidup yang terus menerus dikembangkan sebagai bagian dari proses hermeneutik dan komunikasi. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup ajaran iman agama, teologi, ataupun narasi-narasi besar lainnya, namun juga terjadi di setiap bidang kehidupan.  Rasionalisme universal manusia modern dengan cita-cita penyempurnaan manusia oleh manusia sendiri menemui keterbatasannya secara sangat spektakuler dalam abad ini. Rasionalitas universal itu seolah-olah ambruk.
1.4.3        Jacques Derrida (Aljazair, 15 Juli 1930–Paris, 9 Oktober 2004)
Seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi dan dianggap sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme, sebuah ajaran yang menyatakan bahwa semuanya di-konstruksi oleh manusia, juga bahasa. Semua kata-kata dalam sebuah bahasa merujuk kepada kata-kata lain dalam bahasa yang sama dan bukan di dunia di luar bahasa. Derrida dianggap salah satu filsuf terpenting abad ke 20 dan ke 21. Istilah-ilstilah falsafinya yang terpenting adalah dekonstruksi,dan differance. Istilah dekontruksi untuk pertama kalinya muncul dalam tulisan-tulisan Derrrida pada saat ia mengadakan pembacaan atas narasi-narasi metafisika Barat. Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme . Metode dekonstruksi merupakan proyek filsafat yang berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkan bahwa filsafat barat seluruhnya bersifat logosentris.
Dengan demikian, dekonstruksi mengkritik seluruh proyek filsafat barat.  Sedangkan difference dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua” ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to- self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran. Derrida menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tanda-tanda lain dan kita tidak akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya merujuk ke dirinya sendiri. Maka, tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda, namun lebih benar jika dikatakan bahwa tulisan adalah tanda dari semua tanda-tanda. Dan proses perujukan yang tidak terhingga (infinite) dan tidak habis-habisnya ini tidak akan pernah sampai ke makna itu sendiri.
Inilah pengertian “tulisan” yang ingin ditekankan Derrida. Derrida menggunakan istilah arche-writing, yakni tulisan yang merombak total keseluruhan logika tentang tanda. Jadi, tulisan yang dimaksud Derrida bukanlah tulisan (atau tanda) sederhana,yang dengan mudah dianggap mewakili makna tertentu. Dilihat dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi dari bahasa, dan bahkan telah ada sebelum ucapan oral. Maka tulisan malah lebih “istimewa” daripada ujaran. Tulisan adalah bentuk permainan bebas dari unsur-unsur bahasa dan komunikasi.
Tulisan merupakan proses perubahan makna terus- menerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos). Jadi, tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas tapak kaki, yang harus kita telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si empunya kaki (yang kita anggap sebagai makna yang mau dicari). Proses berpikir, menulis dan berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida sebagai differance. Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya persis sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata differer-differance-difference, tidak hanya dengan mendengar ujaran (karena pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya.
Di sinilah letak keistimewaan kata ini, hal inilah yang diyakini Derrida membuktikan bahwa tulisan lebih unggul ketimbang ujaran.  Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau “makna absolute,” makna transendental, dan makna universal, yang diklaim ada oleh De Saussure dan oleh pemikiran modern pada umumnya. Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan.
Setelah “kebenaran” ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran”lain di depannya, dan begitu seterusnya. Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang “ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus ditunda atau ditangguhkan (deferred) sembari kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian.
Postmodern dan Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.Menurut para pemikir postmodern, modernitas itu ditandai dengan sifat totaliternya akal budi manusia yang menciptakan sistem- sistem seperti sistem ekonomi, sosial, politik, dsb. Sistem-sistem itu akhirnya memenjarakan manusia sendiri sebagai budak dari sistem yang tidak menghargai sama sekali dunia kehidupan.
1.4.4        Jean Francois Lyotard (1924-1998)
Jean francois lyotard lahir pada tahun 1924 di versailes kota kecil di sebelah selatan kota paris. Lyotard lahir dari pasangan jean pierre lyotard dan Madeleine. Awal karir lyotard bermula ketika ia mulai belajar filsafat di Sorbonne setelah perang dunia ke II dan mendapat gelar agra’gation de philosophie pada tahun 1950an. Kemudian pada tahun 1950 – 1952 ia mengajar di sekolah menegah di kota konstantine, aljazair timur. Karirnya kemudian dilanjutkan dengan menjadi seorang professor filsafat di universitas paris VII. Jabatan tersebut ia pegang sampai usia pensiunnya di tahun 1989. Sebelum memasuki usia pension, tepatnya pada tahun 1956 – 1966, lyotard juga berprofesi sebagai anggota dewan redaksi jurnal sosialis Sosialisme an Berbarie (Sosialisme dan keadaan barbar).
Meskipun pada tahun 1950 dan 1960 ia adalah aktivis politik dengan pandangan-pandangan Marxis namun, pada tahun 1980an Lyotard menjadi seorang filosof postmodernisme non-Marxis. Oleh karena itu, postmodernisme menjadi sebuah keterlepasan mendasar dari pemikiran totaliter yang diwakili oleh Marxisme. Sebelum terbitnya buku The Differend : Phrases in Dispute, Lyotard sudah menunjukkan arah perubahan filosofis ini.Pada tahun 1954 terbit buku pertama Lyotard yang berjudul La Phenomenologie yang merupakan buku pengantar dalam memahami fenomenologi Husserl. Meskipun ia pengikut kelompok Marxis akan tetapi ia selalu kritis dan menolak interpretasi dogmatis terhadap pemikiran Marx seperti yang dilakukan Stalinisme, Trotskyisme, dan Maoisme.                                              
 Dua belas tahun kemudian setelah terbit buku pertamanya tersebut yakni tahun 1966, ia resmi menyatakan keluar dari Marxis karena merasa kecewa dengan kegagalan gerakan Marxis untuk membangun masyarakat sosialis yang adil sebagaimana digembar-gemborkan selama ini. Sebaliknya, Marxisme berusaha menciptakan masyarakat yang homogen yang hanya dapat diwujudkan dengan cara kekerasan dan pelanggaran hak-hak azasi manusia. Lyotard sangat tidak setuju dengan keseragaman atau upaya menyeragamkan apalagi upaya tersebut dicapai dengan jalan kekerasan. Baginya, salah satu karakteristik masyarakat postmodern adalah individualis dan kebebasan untuk berbeda dengan yang lain.                               
Istilah postmodern tersebut merupakan kritik terhadap filsafat modernyang ia perkenalkan pertama kali di dalam bukunya yang terkenal “La Condition Postmoderne, Rapport sur le Savoir” terbit tahun 1979. Di buku tersebut, ia mengatakan bahwa telah terjadi perkembangan dan perubahan yang luar biasa pada pengetahuan, sains dan pendidikan pada masyarakat informasi. Perkembangan dan perubahan tersebut telah menggiring masyarakat tersebut pada suatu kondisi yang dia sebut sebagai postmodern.                                                                                                    
Selama empat puluh tahun terakhir ilmu dan teknologi yang terdepan menjadi semakin terkait erat dengan bahasa, teori-teori linguistik, masalah komunikasi dan sibernetik, komputer dan bahasanya, persoalan penerjemahan, penyimpanan informasi, dan bank data.Transformasi teknologi berpengaruh besar pada pengetahuan. Miniaturisasi dan komersialisasi mesin telah merubah cara memperoleh, klasifikasi, penciptaan, dan ekspoitasi pengetahuan. Lyotard percaya bahwa sifat pengetahuan tidak mungkin tidak berubah di tengah konteks transformasi besar ini. Status pengetahuan akan berubah ketika masyarakat mulai memasuki apa yang disebut zaman postmodern.                                                                                        
Pada tahap selanjutnya, pengetahuan tidak lagi menjadi tujuan dalam dirinya sendiri namun pengetahuan hanya ada dan hanya akan diciptakan untuk dijual. Dalam buku tersebut, pemikiran Lyotard umumnya berkisar tentang posisi pengetahuan di abad teknologi informasi ini, khususnya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui, yang disebutnya, “narasi besar” (grand narrative), seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi kaum proletar dan sebagainya. Menurut Lyotard, narasi-narasi besar ini telah mengalami nasib yang sama dengan narasi-narasi besar sebelumnya seperti religi, negara-kebangsaan, kepercayaan tentang keunggulan Barat dan sebagainya, yaitu mereka pun kini menjadi sulit untuk dipercaya. Dengan kata lain, dalam abad ilmiah ini narasi-narasi besar menjadi tidak mungkin, khususnya narasi tentang peranan dan kesahihan ilmu itu sendiri.                                                                        
 Dalam kerangka ini pula, aspek mendasar yang dikemukakan oleh Lyotard pada dasarnya merupakan upaya tentang kemustahilannnya membangun sebuah wacana universal nalar sebagaimana diyakini oleh kaum modernis. Bagi Lyotard dengan postmodernismenya menganggap bahwa untuk mengaktifkan ilmu pengetahuan adalah dengan menghidupkan perbedaan-perbedaan, keputusan-keputusan, dan keterbukaan pada tafsiran-tafsiran baru. Ia tidak percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat diwadahi oleh suatu badan pemersatu yang berupa sistem stabil. Sebab menurutnya, ilmu pengetahuan itu tumbuh sebagai sistem yang organik, dalam arti tidak homogen apalagi tertutup pada eksperimentasi dan permainan berbagai kemungkinan wacana. Dari perspektif Lyotard ini, secara jelas kita dapat memahami bahwa postmodernisme adalah usaha penolakan dan bentuk ketidakpercayaan terhadap segala “Narasi Besar” filsafatmodern; penolakan filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi seperti Liberalisme, Marxisme, atau apapun.
            
Dengan demikian, Postmodernisme, di samping menolak pemikiran yang totaliter, juga menunjukkan dan menganjurkan kepekaan kita terhadap perbedaan dan memperkuat toleransi terhadap kenyataan yang tak terukur.Postmodernisme dengan demikian lahir untuk menolak anggapan-anggapan modernisme yang membawa keyakinan bahwa filsafat melalui rasio sebagai sarananya mampu merumuskan hal-hal yang dapat berlaku secara universal. Postmodernisme menolak cara pandang tunggal atau paradigma tunggal dan sebaliknya menyatakan bahwa terdapat banyak paradigma atau perspektif dalam melihat realitas dunia. Pandangan ilmu yang obyektif universal harus digantikan oleh hermeneutika tentang realitas.
Memudarnya kepercayaaan kepada narasi besar disebabkan oleh proses delegitimasi atau krisis legitimasi, dimana fungsi legitimasi narasi-narasi besar mendapatkan tantangan-tantangan berat. Sebagai contoh, delegitimasi adalah apa yang dialami ilmu sejak akhir abad ke-19 sebagai akibat perkembangan teknologi dan ekspansi kapitalisme. Dalam masyarakat pasca industri, ilmu mengalami delegitimasi karena terbukti tidak bisa mempertahankan dirinya terhadap legitimasi yang diajukannya sendiri.Legitimasi ilmu pada narasi spekulasi yang mengatakan bahwa pengetahuan harus dihasilkan demi pengetahuan di masa capitalist technoscience tidak bisa lagi dipenuhi. Pengetahuan tidak lagi dihasilkan demi pengetahuan melainkan demi profit dimana kriteria yang berlaku bukan lagi benar-salah, melainkan kriteria performatif yaitu, menghasilkan semaksimal mungkin dengan biaya sekecil mungkin.
1.4.5        Jean Baudrillard
Baudrillard lahir di Reims, Perancis timur laut, pada tanggal 27 Juli 1929. Pada Tahun 1956-1966, ia menjadi guru sekolah menengah; mengkhususkan pada teori sosial Jerman dan kesusasteraan. Baudrillard adalah seorang teroris, provokator, filsuf, sekaligus nabi postmodernitas. Tulisan-tulisannya memiliki gaya yang khas dan orisinal deklaratif, hiperbolik, aforistik, skeptis, fatalis, nihilis, namun tajam dan cerdas. Tulisan-tulisan Baudrillard seperti bom yang meledakkan suasana, dan menyajikan cara pandang baru terhadap realitas sosial postmodern.
Pada tahun 1962-1963, ia mengulas tulisan-tulisan di Les Temps Moderne, termasuk sebuah esai tentang Italo Calvino. Pada tahun 1964-1968, ia menerjemahkan naskah-naskah Jerman kedalam bahasa Perancis, termasuk beberapa karya dramawan Peter Weiss (Marat/Sade, The German Ideology nya Marx dan Engels, Messianisme revolutionairre du tiers monde dari Muhlmann) dan Bertold Brecht. Pada bulan Maret 1965, ia mempertahankan disertasinya “Thèse de Troisème Cycle” dalam bidang sosiologi, Universitas Paris X – Nanterre yang diterbitkan menjadi Le systèm des objets. Berperan aktif sebagai intelektual dalam demonstrasi mahasiswa di Paris, pada bulan Mei 1968. Pada tahun 1970-1976, ia menjadi maître-assistant di Nanterre. Pada tahun 1977-1978, ia meluncurkan serial provokatif tentang esai antisosialis dan anti postrukturalis dalam bentuknya yang sangat atraktif, publikasi gaya pamplet yang menutup kariernya sebagai akademikus dan political outsider. Pada tahun 1995 ia mulai mengundurkan diri dari kehidupan kampus, tetapi tetap aktif sebagai jurnalis, esais, dan intelektual profesional bête noir.
Berikut essai-essai yang diterbitkan dari Baudrillard: Understanding Media, Marshall-McLuhan dalam jurnal Marxis humanis L’homme et la société (1966); Le système des objets (1967); De la séduction (1980); Simulacres et simulation (1981); menerbitkan Les stratégies fatales (1982); Amérique (1986); À l’ombre des majorités silencieuses, ou la fin du social (1978) / In the Shadow of Silent Majorities or, The End of the Social and Other Essays (1983); L’autre par luimême (1987); La Guerre du Golfe n’a pas eu lieu (1991); La transparence du mal (1990), Cool Memories II (1990), dan L’illusion de la fin (1992).
Sebagai seorang sosiolog, Baudrillard menawarkan banyak gagasan dan wawasan yang inspiratif. Pemikirannya menjadi penting karena ia mengembangkan teori yang berusaha memahami sifat dan pengaruh komunikasi massa. Ia mengatakan media massa menyimbolkan zaman baru di mana bentuk produksi dan konsumsi lama telah memberikan jalan bagi semesta komunikasi yang baru. Sebagai pemikir aliran postmodern yang perhatian utamanya adalah hakikat dan pengaruh komunikasi dalam masyarakat pascamodern, Baudrillard sering mengeluarkan ide-ide cukup kontroversial dan melawan kemapanan pemikiran yang ada selama ini. Misalnya dalam wacana mengenai kreativitas dalam budaya media massa atau budaya cyber ia menganggapnya sebagai sesuatu yang absurd dan contradictio in terminis. Bagi Baudrillard, televisi merupakan medan di mana orang ditarik ke dalam sebuah kebudayaan sebagai black hole. Ia menyebutnya Simulacra, di mana realitas yang ada adalah realitas semu, realitas buatan (hyper-reality). Begitulah Baudrillard memandang hakikat komunikasi massa.



BAB II
ANALISIS
PENGARUH PROGRAM TELEVISI “LET ME IN
TERHADAP OPERASI PLASTIK
PADA WANITA DI KOREA SELATAN
(STUDI KASUS POSTMODERNISME)

1.      Latar Belakang Masalah
Era globalisasi sekarang ini kemajuan teknologi sangat berkembang dengan begitu pesat. Sebenarnya, sejak dulu teknologi sudah ada atau manusia sudah menggunakan teknologi. Seseorang menggunakan teknologi karena manusia berakal. Dengan akalnya ia ingin keluar dari masalah, ingin hidup lebih baik, lebiah aman, dan sebagainya. Perkembangan teknologi terjadi karena seseorang menggunakan akalnya, dan akalnya untuk menyelesaikan setiap masalah. Menurut W.J.S Purwadarminta (1986), teknologi adalah kemajuan yang berlandaskan pengetahuan berdasarkan protes teknis.
Adapun kemajuan teknologi tersebut ialah teknologi informasi (TI) yang telah merambah ke berbagai bidang kehidupan manusia, salah satunya adalah pada bidang kesehatan atau kedokteran. Kemajuan dalam bidang kesehatan ini sangat berkembang dengan begitu pesat, sehingga banyak temuan-temuan yang didapatkan dengan bantuan teknologi informasi baik dalam bidang pengorganisasian rumah sakit, pengobatan, maupun penelitian pengembangan dari ilmu kesehatan itu sendiri.
Pelayanan kesehatan berbasis teknologi informasi tengah mendapat banyak perhatian dunia, terutama disebabkan oleh janji dan peluang teknologi mampu meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam bidang kedokteran, kemajuan teknologi informasi sangat menunjang ilmu kedokteran baik klinis, dasar maupun komunitas.
Teknologi yang semakin berkembang menuntut sebuah realisasi yag berdampak positif terhadap kehidupan manusia, khususnya di bidang kesehatan. Seiring pesatnya perkembangan teknologi, para pendahulu telah berusaha untuk menyempurnakan apa yang telah diciptakan demi kesejahteraan manusia. Beberapa yang telah diciptakannya kini dapat manusia rasakan sedemikian rupa. Hal inilah yang dianggap sebagai hal yang dinilai berdampak positif terhadap kehidupan manusia terutama di bidang kesehatan, seperti ditemukannya keahlian dalam bidang operasi plastik.
Operasi plastik merupakan salah satu cabang dalam ilmu kedokteran. Secara umum operasi plastik merupakan salah satu upaya untuk mendapatkan kesempurnaan fisik. Sekarang ini operasi plastik sudah menjadi tren, bahkan operasi plastik telah lama menjadi bisnis besar di seluruh Asia, terutama di Korea Selatan. Menurut International Society of  Aesthetic Plastic Surgery (ISAPS), Korea Selatan kini menjadi pasar terbesar di dunia untuk prosedur kosmetik atau kecantikan.
Di Korea, operasi plastik sudah lumrah untuk meningkatkan kepercayaan diri. Hampir semua artis Korea melakukan operasi plastik untuk menyempurnakan dirinya secara fisik, seperti memperbesar kelopak mata, pengurangan rahang, menghilangkan keriput di wajah, pemangkasan tulang pipi, memancungkan hidung, dan mempertipis bibir. Tidak hanya kalangan artis maupun selebritis, kalangan masyarakat biasa juga melakukan operasi plastik.
Bukan hal yang biasa lagi jika Korea Selatan menjadi negara nomor satu yang melegalkan para masyarakatnya untuk melakukan operasi plastik. Bahkan, para pelajar di Korea Selatan lebih memilih sebuah hadiah melakukan operasi plastik daripada memilih untuk lulus sekolah. Oleh karena itu, saat ini banyak warga di Korea Selatan yang melakukan operasi plastik dan operasi plastik itu sendiri telah menjamur dalam kehidupan masyarakat mereka.
Dengan menjamurnya operasi plastik di Korea Selatan, salah satu televisi lokal di Korea Selatan membuat sebuah program acara yang bertemakan operasi plastik, yaitu “Let Me In”. Program acara “Let Me In” adalah program reality show yang melakukan make over melalui prosedur operasi plastik. Peserta yang mengikuti acara tersebut harus memenuhi banyak peraturan, yaitu dilarang untuk bercermin melihat wajah baru peserta setelah operasi plastik sebelum perawatan pulih sempurna. Apabila melanggar, maka peserta didiskualifikasi. Saat ini program acara tersebut tayang di siaran televisi berlangganan Channel M. Channel M adalah nama baru atau rebranding dari TVN yang merupakan hasil kerjasama Fox International Channel Asia dan CJ Entertainment yang muncul sejak 23 November 2012. Pada program acara televisi tersebut menuai pro dan kontra dari masyarakat Korea Selatan.
Konsep utama dari program ini adalah wanita yang datang untuk mengajukan diri di hadapan host panel yang di antaranya adalah artis drama, CEO internet shopping mall, dan tiga stylist. Jika terpilih, maka ia akan mendapatkan tindakan operasi plastik dari team dokter dan make over oleh stylist yang secara gratis. Sebagai gantinya, pasien yang akan di operasi plastik akan menyerahkan seluruh hak image dirinya untuk keperluan iklan operasi plastik. Acara ini secara tidak langsung juga sebagai media promosi bagi rumah sakit atau dokter yang menangani, karena iklan tv mengenai operasi plastik dilarang oleh pemerintah.
Walaupun program acara ini berdampak positif bagi pasien, dokter, dan channel televisi yang menayangkan, tetapi bagi peneliti hal ini merupakan sebuah kontroversi pada era postmodern. Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan postmodern merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya.
Postmodern juga cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, yaitu pada kemajuan teknologi. Sama halnya pada acara “Let Me In” di siaran televisi Korea Selatan. Dengan adanya acara tersebut, membuat banyak para wanita maupun pria untuk melakukan operasi plastik secara gratis tanpa memikirkan image mereka & resiko fisik yang akan mereka dapatkan apabila gagal operasi plastik.
Secara tidak sadar, seringkali operasi plastik salah dikaitkan dengan bedah kulit, padahal ruang lingkup operasi plastik lebih luas dari pada sekedar pembedahan kulit belaka. Sebenarnya tujuan utama dari operasi plastik adalah untuk menjadikan atau merubah bentuk bagian tubuh manusia menjadi lebih baik atau rusak akibat kecelakaan, luka bakar, atau cacat dari lahir. Namun, di Korea Selatan pengaruh operasi plastik hanya digunakan untuk tren dan gaya saja, bukan untuk kesehatan fisik, jasmani, dan rohani.
Oleh karena itu, dari latar belakang diatas, kelompok kami tertarik untuk meneliti “Pengaruh Program Televisi “Let Me In” Terhadap Operasi Plastik Pada Wanita Di Korea Selatan“ dengan mengaitkannya pada studi kasus postmodernisme.

2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah umum pada penelitian ini adalah “Bagaimana Pengaruh Program Televisi “Let Me In” Terhadap Operasi Plastik Pada Wanita Di Korea Selatan? Sedangkan rumusan masalah khusnya adalah;
-          Bagaimana Pandangan Postmodern Terhadap Program Televisi “Let Me In” Di Korea Selatan?
-          Bagaimana “Grand Narasi” Yang Dibentuk dalam Program Reality Televisi Show “Let Me In” Pada Wanita Di Korea Salatan?

3.      Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah observasi dan studi pustaka. Metode penelitian observasi adalah metode pengumpulan data  yang mendapatkan sumber data secara langsung di lapangan. Maka observasi yang  kami lakukan pada penelitian ini adalah dengan melihat video dokumentasi tayangan “Let Me In” secara langsung di media sosial youtube. Selain itu, kami juga melihat fanspageLet Me In” di media sosial facebook untuk melihat status atau foto yang update pihak program acara Let Me In maupun komentar dari penggemar acara Let Me In.
Sedangkan metode studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dengan mencari sumber data di website, penelaahan buku, jurnal, makalah dan lainnya yang mendukung penelitian ini.

4.      Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut;
-          Bertujuan untuk mengetahui pandangan postmodern terhadap Program televisi “Let Me In” di Korea Selatan,
-          Bertujuan untuk mengetahui bagaimana “Grand Narasi” yang dibentuk dalam program reality televisi show “Let Me In” pada wanita di Korea Salatan?

5.      Landasan Teori
Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori postmodern berdasarkan pemikiran Jean Baudrillard dan Jean Francois Lyotard beserta grand narasi-nya.

6.      Pembahasan
6.1  Bagaimana Pandangan Postmodern Terhadap Program Televisi “Let Me In” Di Korea Selatan?
Menurut Gene Edward Veith (2013), bagi kaum postmodernis, moralitas merupakan suatu masalah keinginan (desire). Sama seperti halnya operasi plastik yang dilakukan oleh sekian banyak wanita di Korea Selatan. Operasi plastik merupakan kejadian fenomenal yang sebenarnya menentang tradisi bahkan moralitas telah muncul sebagai wujud terhadap adanya pengaruh postmodernisme. Dahulu, masyarakat masih menganggap bahwa operasi plastik adalah sesuatu yang tabu dan melanggar norma. Tapi sekarang, terlihat bahwa semakin sedikit masyarakat yang menganggap bahwa hal itu adalah tabu, bahkan ada pula yang menganggap bahwa hal-hal semacam itu adalah trend yang telah menjadi sebuah gaya hidup. Bahkan di Korea Selatan mengesahkan adanya hal itu.
menurut Jean Baudillard (dalam Ritzer, 2003: 641), masyarakat saat ini sudah tidak lagi didominasi oleh produksi tetapi lebih didominasi oleh "media, model sibernetika dan sistem pengemudian, komputer, pemrosesan informasi, industri hiburan dan pengetahuan, dan lainnya"
Bila dikaitkan tengan kasus yang ada, televisi adalah sebagai media untuk menyampaikan informasi kepada pemirsa. Informasi tersebut berupa program acara reality show, yang mana reality show tersebut bernama “Let Me In” yang bertujuan untuk menawarkan operasi plastik kepada pemirsa yang menontonnya. Tentunya, program acara reality show tersebut dapat memikat dan menghibur pemirsa serta memberikan pengetahuan kepada pemirsa tentang adanya promosi operasi plastik. Bukan hanya promosi operasi plastik saja, program acara reality show “Let Me In” ini diproduksi untuk mempromosikan keahlian tenaga kedokteran, teknologi yang dipakai, serta promosi rumah sakit.
Tujuan ini sebenarnya telah bergeser dari eksploitasi dan keuntungan ke tujuan yang ditentukan oleh tanda dan sistem yang menghasilkannya. Selanjutnya meski tanda itu diartikan sebagai suatu kenyataan dan menunjuk pada tanda itu sendiri dan yang lain, namun saat ini sejatinya tanda menunjukan pada dirinya sendiri. Kita tak dapat mengatakan apa yang nyata itu, perbedaan antara tanda dan realitas telah kabur. Dan masyarakat postmodern ditandai oleh ledakan dari dalam seperti yang dapat dibedakan dari ledakan karena tekanan dari luar (ledakan sistem, produksi, komoditi, teknologi dan sebagainya) yang menandai masyarakat modern.
Menurut Baudrillard (2005), kehidupan postmodern saat ini ditandai dengan simulasi. Proses ini mengarah kepada penciptaan simulacra atau "reproduksi objek dan atau peristiwa". Dengan kaburnya perbedaan antara tanda dan realitas, maka semakin sukar mengenali yang tulen dari barang tiruan. Berdasarkan pandangan Baudrillard, maka dapat dikaitkan dengan contoh sebagi berikut;

Gambar. 1 (http://google.com)

Dari gambar di atas, mungkin banyak orang mengira bahwa wanita (ibu) yang cantik dan pria (ayah) yang tampan pada gambar memiliki wajah asli sejak lahir. Tetapi, ketika pria dan wanita tersebut mempunyai seorang anak, dua anak, dan tiga anak, namun tidak ada seorang pun dari anak mereka yang memiliki wajah yang mirip dengan ayah ibunya. Padahal wajah ibu dan ayah mereka sangat cantik dan tampan, tetapi anak mereka memiliki kekurangan wajah yang sama sekali tidak mirip dengan ibu ayahnya. Hal ini dapat diketahui bahwa ibu dan ayah mereka telah melakukan operasi plastik.
Di sini lah dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan tanda dan realitas, artinya seseorang yang ingin meninggalkan realitas sebenarnya, yaitu realitas bahwa seseorang itu memiliki anggota tubuh yang kurang sempurna, sehingga memutuskan untuk operasi plastik mempercantik penampilannya. Dengan demikian, maka manusia semakin sukar mengenali yang tulen dari barang tiruan, artinya ketika seseorang itu telah melakukan operasi plastik dan menjadi cantik, maka banyak orang yang tidak tahu dan merasa sukar untuk mengenali wajah asli orang yang telah melakukan operasi plastik tersebut. Apalagi dengan ditayangkannya program acara reality show “Let Me In” tersebut, sehingga membuat banyak orang baik pria maupun wanita berlomba-lomba untuk ikut acara Let Me In dan melakukan operasi plastik demi mendapatkan kesempurnaan anggota tubuh yang ideal, cantik, tampan, dan baru.
Menurut Baudrillard (2005), inilah lukisan dari kehidupan postmodernisme yaitu terbentuknya hiperrealitas (realitas semu). Dengan contoh reality showLet Me Ini” ini dapat dikatakan media televisi sebenarnya berhenti menjadi cerminan realitas, tetapi justru menjadi realitas itu sendiri, atau bahkan lebih nyata dari realitas itu sendiri. Televisi tidak lagi menjadi sekedar pembawa berita dan acara diskusi tetapi lebih dari itu menyuguhkan hiburan yang menjadi realitas baru. Akibatnya adalah bahwa apa yang real (nyata) itu disubordinasikan dan akhirnya dilarutkan sama sekali.

6.2  Bagaimana “Grand Narasi” yang dibentuk dalam program reality televisi show “Let Me In” pada wanita di Korea?
Pada program acara reality show “Let Me In” di Korea Selatan, program acara tersebut merupakan suatu acara yang diambil dari kisah nyata dari para peserta yang memiliki masa lalu yang menyakitkan. Karena tidak tahan dengan perlakuan menyakitkan, akhirnya peserta ingin mengubah bentuk wajah dan tubuhnya menjadi cantik dan ideal melalui operasi plastik dengan mengikuti program acara televisi “Let Me In”. Dalam acara tersebu tterdapat pesan-pesan  yang disampaikan atau dinamakan grand narasi. Terlihat disini bahwa rumah produksi pertelevisisan telah menemukan format acara baru yang dapat menarik perhatian para pemirsa, tentunya memikat para pemirsa untuk melakukan operasi plastik. Keuntungan dan laba besar serta rating yang tinggi pun dapat diraih.
Tayangan tersebut menimbulkan kepercayaan pada masyarakat yang menonton program tersebut. Sehingga dalam benak masyarakat untuk mendapatkan kecantikan yang maksimal harus melakukan operasi plastik. Dengan adanya realitas ini, maka dapat menghasilkan pola budaya yang mudah meniru (imitasi) apa yang dilihatnya sebagai sebuah kenyataan di media televisi serta terbentuknya pola pikir yang serba instan, membentuk manusia yang segala sesuatunya ingin cepat saji.

7.      Penutup
7.1  Kesimpulan
Postmodern memandang tidak ada kebenaran yang mutlak sehingga operasi plastik dianggap menentang tradisi bahkan moralitas telah muncul sebagai wujud terhadap adanya pengaruh postmodernisme. Selain itu operasi plastic di Korea Selatan juga dianggap sebagai suatu trend dan di setujui oleh pemerintah. Dapat dikatakan dalam masyarakat postmodern ini, nilai-nilai agama tersingkir dan berubah menjadi pandangan pribadi yang tabu untuk digunakan dalam operasi plastik.
Acara reality show dianggap lazim dalam masyarakat postmodern. Acara “Let Me In” menjadi bukti bahwa di Korea operasi plastik sangat disukai dan diinginkan oleh setiap wanita yang ada. Acara ini menjadi sarana komunikasi agar wanita korea makin tampil cantik. Selain itu menjadi sarana promosi bagi dokter kecantikan di Korea, promosi teknologi, serta tenaga medis. Banyak wanita yang menginginkan agar wajahnya di operasi seperti peserta operasi itu sendiri, bahkan ada yang menganggap operasi plastik sebagai dewa atau sangat mengagumi acara tersebut. Akan tetapi sebenarnya yang ada apabila operasi plastik kita mendapatkan realitas semu dan cenderung kita membentuk pola meniru dalam masyarakat (imitasi).
7.2  Saran
Pertahankan moral, ajaran agama, dan tradisi yang sudah diyakini sejak awal. Jangan mudah terpengaruh terhadap sesuatu yang semu akan tetapi milikilah pendirian agar tidak terbawa arus manapun. Jadilah diri sendiri dan jangan menipu diri dengan suatu realitas semu atau palsu karena dapat merugikan diri kita sendiri

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Arthur Asa. 2006. Terbunuhnya Seorang Profesor Postmodern. Serpong: Marjin Kiri.
Christopher, Norris. 2003. Membongkar Teori Deskontruksi Jacques Derrida. Yogyakarta: Arruss.
Demartoto, Argyo. 2007. Mosaik Dalam Sosiologi. Surakarta: UNS Pers.
Foucault, Michael. 2002. POWER/KNOWLEDGE: Wacana Kuasa/ Pengetahuan. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Handy, Bruce. 1988. “A Spy Guide to Postmodern Everything”, dalam Spy Magazine April 1988. URL: http://fawny.org/spy/spy-april-1988.htm. dilihat 8 November 2014, pukul 10.29 WIB.
Kvale, Steinar. (2006). Psikologi dan Posmodernisme. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar.
Lash, Scoot. 2004. Sosiologi Postmodern. Jakarta: Kanisius.
Lyotard, Jean Francois. (1984). The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Minneapolis: University of Minesota Press.
Maksum, Ali. 2009. Pengantar Filsafat : Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Jakarta: Ar-Ruzz Media.
O’Donnell, Kevin. 2009. Postmodernisme. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Purnomo, Ari. 2006. Narasi Kecil Sebagai Legitimasi Ilmu Pengetahuan era Postmodern Menurut Jean Francois Lyotard: Sebuah Skripsi. Yogyakarta: FTW.
Rahayu, Sri. (2006). Epistimologi Friedrich Wilhelm Nietzsche sche, dalam Epistimologi Kiri. Jogjakarta: Ar-Ruuz.
Ritzer, George. 2003. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
Sugiharto, Bambang. (1996). Postmodernisme – Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Turner, Bryan. 2000. Sosiologi Modernitas dan Postmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumber Web:




Tidak ada komentar:

Posting Komentar